Posted by : Unknown
Kamis, 12 Juni 2014
MATAHARI DI SEBUAH JALAN KECIL
Karya Arifin C. Noor
Sebentar lagi berkas-berkas di
langit akan buyar dan matahari akan memulai memancarkan sinarnya yang putih,
terang dan panas. Jalan itupun akan mulai hidup, bernafas dan debu-debu akan
segera berterbangan mengotori udara.
Jalan itu bukan jalan kelas
satu. Jalan itu jalan kecil yang hanya dilalui kendaraan-kendaraan dalam jumlah
kecil. Tetapi sebuah pabrik es yang tidak kecil berdiri di pinggirnya dan
pabrik itu memiliki gedung yang sangat tua. Di depan gedung itulah para pekerja
pabrik mengerumuni simbok yang berjualan pecel di halaman.
Seorang laki-laki yang sejak
malam terbaring, tidur di ambang pintu yang terpalang tak dipakai itu, bangun
dan menguap setelah seorang yang bertubuh pendek membangunkannya. Laki-laki itu
adalah penjaga malam.
PENJAGA MALAM : Uuuuuh, gara-gara pencuri, aku jadi kesiangan.
SI PENDEK : Tadi malam ada pencuri?
PENJAGA MALAM : Di sana, di ujung jalan itu! (menunjuk)
SI PENDEK : Tertangkap?
PENJAGA MALAM : Dia licik seperti belut. (menggeliat lalu pergi)
SI PENDEK (duduk lalu membaca koran)
Seorang pemuda (anak laki-laki) membawa baki di atas kepalanya lewat. Ia
menjajakan kue donat dan onde-onde. Suaranya nyaring sekali. Tak ada orang mengacuhkannya.
Begitu ia lenyap seorang pemuda lewat pula yang berjalan dengan perlahan,
berbaju lurik kumal, sepatu kain yang sudah rusak dan buruk, wajahnya pucat.
Sebentar ia memperhatikan orang-orang yang tengah makan lalu ia pergi dan iapun
tak diperhatikan orang.
Gemuruh mesin yang tak pernah berhenti itu, yang abadi itu, makin lama
makin mengendur daya bunyinya sebab lalu lintas di jalan itu mulai bergerak dan
orang-orang semakin banyak di halaman pabrik itu. Simbokpun makin sibuk
melayani mereka. Lihatlah!
SI TUA (menerima pecel) Sedikit sekali.
SIMBOK (tak menghiraukan dan terus melayani yang lain)
SI PECI : Ya, sedikit sekali (menyuapi mulutnya)
SI TUA : Tempe lima rupiah sekarang.
SI KACAMATA : Beras mahal (membuang cekodongnya) kemarin istriku mengeluh.
SI PECI : Semua perempuan ya ngeluh.
SI KURUS : Semua orang pengeluh.
SI KACAMATA : Kemarin sore istriku berbelanja ke warung nyonya pungut. Pulang-pulang ia
menghempaskan nafasnya yang kesal……. Harga beras naik lagi, katanya.
SI PECI : Apa yang tidak naik?
SI TUA : Semua naik.
SI KURUS : Gaji kita tidak naik.
SI KACAMATA : Anak saya yang tertua tidak naik kelas.
SI TUA : Uang seperti tidak ada harganya sekarang.
SI KURUS : Tidak seperti…. Ah memang tak ada harganya.
SI TUA (mengangguk-angguk)
SI PECI : Ya.
SI KACAMATA : Ya.
SI PENDEK : Menurut saya (menurunkan koran yang sejak tadi menutupi wajahnya. Sebentar
ia berfikir sementara kawannya bersiap mendengar cakapnya). Menurut saya,
sangat tidak baik kalau kita tak henti-hentinya mengeluh sementara masalah yang
lebih penting pada waktu ini sedang gawat menantang kita. Dalam seruan serikat
kerja kitapun telah dinyatakan demi menghadapi revolusi dan soal-soal lainnya
yang menyangkut negara kita harus turut aktif dan bersiap siaga untuk segala
apa saja dan yang terpenting tentu saja perhatian kita.
SI TUA (menggaruk-garuk)
SI PENDEK : Ya, baru saja saya baca dari koran….nich, korannya…. Bahwa kita harus
waspada terhadap anasir-anasir penjajah, kolonialisme. Kita harus hati-hati
dengan mulut yang manis dan licin itu. (tiba-tiba batuk dan keselek)…..tempe
mahal tidak enak rasanya… (meneruskan yang semula) beras yang mahal hanya soal
yang tidak lama.
SI PECI : Ya.
SI KACAMATA : Ya.
SI PENDEK : Ya.
SI TUA : Dulu (batuk-batuk), dulu saya hanya membutuhkan uang sepeser untuk
sebungkus nasi.
SI PECI : Dulu?
SI TUA : Ketika jaman normal.
SI KURUS : Jaman Belanda.
SI TUA : Ya, jaman Belanda. Untuk sehelai kemeja saya hanya membutuhkan uang sehelai
rupiah.
SI KURUS : Tapi untuk apa kita melamun, untuk apa kita mengungkap-ungkap yang dulu?
SI PENDEK (makin berselera) : Ya, untuk apa? Untuk apa kita melamun? Untuk apa kita
mengkhayal? Apakah dulu bangsa kita ada yang mengendarai mobil? Sepedapun hanya
satu dua orang saja yang memilikinya. Kalaupun dulu ada itulah mereka para
bangsawan, para priyayi dan para amtenar yang hanya mementingkan perut sendiri
saja. Sekarang lihatlah ke jalan raya.
SI PENDEK : …… Lihatlah Kemdal Permai, stanplat. Pemuda-pemuda kita berkeliaran
dengan sepeda motor. Kau punya sepeda? Ya, kita bisa mendengarkan lagu-lagu
dangdut dari radio. Ya?
SI KACAMATA : Ya.
SI PENDEK : Ya, tidak?
SI KURUS : Ya.
SI PENDEK : Ya, tidak?
SI TUA (mengangguk-angguk)
SI PENDEK : Sebab itu kita tidak perlu mengeluh, apalagi melamun dan mengkhayal,
sekarang yang penting kita bekerja, bekerja yang keras.
SI KACAMATA : Saya juga berpikir begitu.
SI PENDEK : Kita bekerja dan bekerja keras untuk anak-anak kita kelak.
SI KACAMATA : Saya ingin anak saya memiiki yamaha bebek.
SI PENDEK : Asal giat bekerja kita bebas berharap apa saja.
SI KURUS : Tapi kalau masih ada korupsi? Anak kita akan tetap hanya kebagian
debu-debunya saja dari motor yang lewat di jalan raya.
SI PECI : Ya.
SI KACAMATA : Ya.
SI TUA : Ya, sekarang kejahatan merajalela.
SI KURUS : Semua orang bagai diajar mencuri dan menipu.
SI KACAMATA : semua orang.
SI KURUS : Uang serikat kerja kitapun pernah ada yang menggerogoti (melirik kepada si
pendek)
SI PECI : Ya, setahun yang lalu. (melirik si pendek)
SI KACAMATA : Ya, dan sampai sekarang belum tertangkap tuyulnya. (melirik pad si pendek)
SI TUA (mengangguk-angguk)
PEMUDA muncul lagi, mula-mula ragu lalu ia turut bergerombol dan makan
pecel.
SI PECI : Ya, setahun yang lalu (melirik si pendek) Sekarang kita sukar mempercayai
orang.
SI KURUS : Bahkan kita takkan percaya lagi pada kucing. Kucing sekarang takut pad
tikus dan tikus sekarang besar-besar, malah ada yang lebih besar daripada
kucing, dan adapula tikus yang panjangnya satu setengah meter dan empat puluh
kilogram beratnya. Tapi yang lebih pahit kalau kucing jadi tikus alias kucing
sendiri sama kurang ajarnya dengan tikus.
SI PECI : Ya, sekarang kucing malas-malas dan kurang ajar.
SI KACAMATA : Dunia penuh tikus sekarang.
SI KURUS : Dan tikus-tikus jaman sekarang beraqni berkeliaran di depan mata pada siang
hari bolong.
SI TUA : Omong-omong perkara tikus, (batuk-batuk) sekarang ada juga orang yang makan
tikus.
SI KACAMATA : Bukan tikus, cindel. Orang Tionghoa di tempat saya biasa menelan cindel
hidup-hidup dengan kecap, mungkin untuk obat.
SI TUA : Bukan cindel, tikus-tikus, Wirog. Petani-petani sudah sangat jengkel karena
diganggu sawahnya, sehingga mereka dengan geram dan jengkel lalu memakan
tikus-tikus sebagai lauk, daripada mubazir. Tapi ada juga yang memakan tikus
itu sebab……….lapar.
SI PECI : Ya, sekarang sudah hampir umum di kampung-kampung, bahkan ada juga anjuran
dari pemerintah setempat.
SI KURUS (pada si tua) : Enak?
SI TUA : Ha?
SI KURUS : Sedap?
SI TUA : Saya tidak turut makan (tersenyum).
Semua tertawa. Lonceng bekerja berdentang. Mereka masing-masing menghitung
dan menyerahkan uang pada simbok kemudian pergi bekerja, lewat jalan samping.
Yang terakhir adalah si pendek.
SI PENDEK : Berapa Mbok?
SIMBOK : Apa?
SI PENDEK : Nasi pecel dua, tempe satu, tahu satu, rempeyek satu.
SIMBOK : Tujuh puluh lima.
SI PENDEK : Bon. (pergi)
Pemuda menghabiskan makannya dengan lahap sekali, setelah membuang
cekodongnya ia minta air yang biasa disediakan oleh penjual pecel itu. Ia
berdiri, merogoh saku celana. Ia cemas, saku baju dirogohnya. Ia makin cemas,
simbok memperhatikan dengan biasa.
SIMBOK : Ada yang hilang?
PEMUDA : Barangkali tidak.
SIMBOK : Apa?
PEMUDA : Dompet.
SIMBOK : Dompet? Ada uang di dalamnya?
PEMUDA : Juga surat keterangan penduduk. Tapi (mengingat-ingat) barangkali saya lupa
dan tidak hilang. Tadi malam saya mengenakan baju hijau dengan celana lurik
hijau. Yang mungkin dompet itu dalam saku baju hijau….. Berapa Mbok?
SIMBOK : Nasi dua.
PEMUDA : Tempe dua, tahu tiga.
SIMBOK : Delapan puluh.
PEMUDA (seraya hendak pergi) :Sebentar saya pulang mengambil uang. Dompet saya
dalam saku baju hijau barangkali.
SIMBOK : Nanti dulu.
PEMUDA : Tak akan lebih dari sepuluh menit. Segera saya kembali.
SIMBOK : Tapi sebentar lagi saya mau pergi dari sini.
PEMUDA : Tapi dompetku ketinggalan di rumah. Sebentar rumahku tidak jauh dari sini.
SIMBOK : Ya, tapi sebentar lagi saya akan pergi dari sini.
PEMUDA : Sebentar (akan pergi)
SIMBOK : (berdiri dan berseru) Hei, nanti dulu. Bayarlah baru kau boleh pergi.
PEMUDA : Jangan berteriak. Tentu saja saya akan membayar. Tapi saya mesti mengambil
uang dulu di rumah. Mbok tidak percaya?
SIMBOK (diam)
PEMUDA : Tunggulah sebentar, saya orang kampung sini juga.
TERDENGAR ADA SUARA : Ada apa Mbok?
SI KURUS : Ada apa Mbok? (di jendela)
SIMBOK : Dia belum bayar.
PEMUDA : Tunggulah lima menit (pergi).
SI KURUS : Hai, dik! Tunggu!
PEMUDA : Saya akan mengambil uang. Saya belum membayar makanan saya, sebab itu saya
akan pulang mengambil uang saya. Dompet saya ketinggalan.
SI KURUS : Ya, tapi jangan main minggat-minggatan.
PEMUDA : Saya tidak berniat lari atau minggat, lagipula saya sudah bilang sama si
Mbok.
SI KURUS : Simbok mengijinkan?
PEMUDA : Saya Cuma sebentar.
SI KURUS : Simbok memperbolehkan engkau pergi?
PEMUDA (diam)
SI KURUS : Simbok keberatan engkau meninggalkan tempat ini sebelum engkau membayar
makananmu.
PEMUDA : Bagaimana dapat saya bayar? Dompet saya ketinggalan.
SI KURUS : Ya, tapi jangan main minggat-minggatan.
PEMUDA : Saya tidak berniat minggat atau lari.
SI KURUS (lenyap dari jendela, muncul dari pintu samping) Dimana rumahmu?
PEMUDA : Dekat.
SI KURUS: Dekat di mana?
PEMUDA : Di kampung ini.
SI KURUS : Ha? (pada Simbok) Mbok, kenal pada anak itu?
SIMBOK : Seumur hidup baru pagi ini saya menjumpainya. Tapi peristiwa semacam ini
kerap kualami. Dulu saya percaya ada orang yang betul-betul ketinggalan uangnya
tetapi orang-orang sebangsa itu tidak pernah kembali. Seminggu yang lalu saya
tertipu dua puluh rupiah. Tampangnya gagah dan meyakinkan sekali, waktu itu ia
bilang uangnya tertinggal di rumah. Tapi sampai hari ini pecel yang dimakannya
belum dibayar. Benar dua puluh itu tidak banyak, tetapi dua puluh kali sepuluh
adalah tidak sedikit. Sekarang saya sudah kapok dan cukup pengalaman.
SI KURUS
Baru sekarang ini kau jajan pada simbok, bukan?
PEMUDA
Ya.
SI KURUS
Lalu kenapa kau berani-berani jajan padahal kamu tahu tak beruang.
PEMUDA
Saya beruang.
SI KURUS : Bayarlah sekarang.
PEMUDA : Uang saya ketinggalan.
SI KURUS : Kenapa kau berani jajan.
PEMUDA : Saya tidak tahu kalau uang saya ketinggalan di saku baju hijau. Dan
sekarang saya akan pergi mengambil uang itu.
Muncul di jendela, si peci
SI PECI : Ada apa dia?
SI KURUS : Makan tidak bayar.
SI PECI : Siapa?
SI KURUS : Pemuda ini.
SI PECI : Dia? (lenyap dari jendela muncul dari pintu)
SI KURUS : Kau bayarlah sebelum orang-orang ramai datang ke sini.
SI PECI : Ya, bayarlah. (pada simbok) Berapa dia habis?
SI KURUS : Berapa Mbok?
SIMBOK : Delapan puluh.
Dua orang anak masuk, mereka menonton
SI KURUS : Kenapa jadi diam?
SI PECI : Kenapa?
PEMUDA : Saya tidak berniat minggat.
SI KURUS : Masih muda sudah belajar tidak jujur. Masih muda sudah belajar makan tanpa
jerih payah.
SI PECI : Kenapa tidak membayar?
PEMUDA : Saya mau membayar, uang saya ketinggalan.
SI PECI : Ketinggalan di mana?
SI KURUS : Di bank?
PEMUDA : Di rumah.
SI KURUS : Di mana rumahmu?
PEMUDA : Di sini.
SI KURUS : Di sini di mana?
PEMUDA : Di kampung ini.
SI KURUS : Kau warga kampung ini?
PEMUDA : Saya orang baru.
SI KURUS : Kau tahu nama kampung ini?
PEMUDA : Pegulen.
SI KURUS : Pegulen? Di RT mana kau tinggal?
PEMUDA : Di RT lima.
SI KURUS : RT lima betul?
PEMUDA : Kalau tidak keliru.
SI KURUS : Kalau tidak keliru?
PEMUDA : Mungkin saya lupa, saya orang baru.
SI KURUS : Baik. Siapa kepala RT lima?
PEMUDA : Saya orang baru di kampung ini.
SI KURUS : Tentu saja kau harus mengatakan orang baru di kampung ini, sebab kalau kau
mengatakan orang lama di kampung sini tentu kau harus menjawab siapa nama
kepala RT lima. Baik, dari mana asalmu?
PEMUDA : Muntilan.
SI KURUS : Dekat. Nah, kau katakan di mana tempat tinggalmu?
PEMUDA : RT lima Pegulen.
SI KURUS : RT lima dimana?
PEMUDA : Di RT lima.
SI KURUS : Ya, di rumah siapa?
PEMUDA : Dekat bengkel Slamet.
SI KURUS : Bengkel Slamet, bengkel mobil itu?
PEMUDA : Bengkel sepeda.
SI KURUS : O.., Ya betul, bengkel sepeda. Di mana bengkelnya?
PEMUDA : Di dekatnya.
SI KURUS : Di atasnya?
PEMUDA : Di sebelahnya.
SI KURUS : Ya, di sebelah atas.
PEMUDA : Sebelah kiri.
SI KURUS : O…, rumah siapa itu?
PEMUDA : Rumah tukang sepatu.
SI KURUS : Hapal sekali. Tukang sepatu siapa namanya?
PEMUDA : E….. Mas Narko, Sunarko.
SI KURUS : Salah, ternyata kau bohong. Nah, sejak sekarang saya akan memanggilmu
pembohong. Rumah itu adalah rumah saya. Di muka rumah itupun berdiri rumah
Simbok ini. Kau bohong.
PEMUDA : Saya tidak bohong. Bukankah diantara rumah saudara dan bengkel ada sebuah
rumah petak yang agak bagus.
SI KURUS : Kau cerdas sekali, tapi tolol. Rumah itupun rumah pak Prawiro, bukan rumah
mas Sunarko.
PEMUDA : Barangkali namanya Sunarko Prawiro.
SI KURUS : Indah sekali namanya. Kau yakin benar nama itu?
PEMUDA : Saya tidak begitu kenal namanya.
SI KURUS : Tentu saja pak Prawiro itu sangat tidak kenal padamu.
PEMUDA : Tapi saya kenal orangnya dan saya mondok pada istrinya.
SI KURUS : Setiap orang yang punya sepatu yang rusak dan buruk seperti sepatumu pasti
kenal padanya. Dia tukang sepatu.
PEMUDA : Tapi saya betul-betul kenal.
SI KURUS : Betul?
PEMUDA : Betul.
SI KURUS: Betul?
PEMUDA (diam)
SI KURUS : Puh! Pembohong. Tampangmu saja sudah mirip bajingan. Pintar kau ngoceh ya?
Saya adalah orang yang paling benci pada ketidakjujuran, saya muak. Saya
menyesal sekali melihat penipu semuda kau. Tapi saya terlanjur muak. Saya
benci, kau tahu? Gaji saya sedikit, tapi saya tak mau menipu atau mencuri. Ya,
tentu saja kau semakin kurus, sebab benar kata Joyoboyo, yang pintar keblinger
yang jujur mujur. Sekarang baiklah, bayar atau tidak? Ya memang sedikit uang
delapan puluh rupiah, tapi bagi saya kejahatan tetap kejahatan, dan saya benci
serta menyesal, yang melakukan perbuatan hina itu adalah manusia bukan anjing.
Dan lebih menyesal lagi kalau yang melakukan kerja nista itu adalah bakal dan
calon orang, yaitu kamu, PEMUDA. Nah, bayar atau tidak? Terus terang.
PEMUDA : Saya mau bayar.
SI KURUS : Bayarlah!
PEMUDA : Uang saya ketinggalan.
SI KURUS : Ketinggalan di mana? Di Bank? Di kantong pak Prawiro atau mau mencopet
dahulu? Mau belajar jadi garong… biar… cair kepalamu? Sayang kumismu jarang,
kalau panjang dan lebat saya sudah gemetar.
PEMUDA : Betul, uang saya ketinggalan.
SI KURUS : Bohong!
PEMUDA : Sungguh.
SI KURUS : bohong. Kau tadi sudah bohong sebab itupun kau pasti pembohong.
PEMUDA : Percayalah mas, kalau saya berbohong………
SI KURUS : (memotong) Bohong. Bohong kau…… (geram hendak memukul pemuda itu tetapi
tiba-tiba ia mengurungkan niatnya) Saya percaya kau adalah manusia, bukan
binatang. Saya jadi ingat saudara saya sendiri. Seperti sekarang juga saya
merasa parah dalam hati. Waktu itu saya tidak bisa menahan diri lagi sebenarnya,
tetapi saya juga mengerti bahwa saudara saya itu mesti masuk penjara, sebab ia
telah melakukan kejahatan yang kubenci, tapi saya merasa parah dan tetap benci
akan apa yang berbau ketidakjujuran. Sekarang terus terang saja mau bayar atau
tidak?
Dari pintu muncullah si kacamata, si tua, dan lain-lain, yang tak hadir
hanya si pendek.
SI KACAMATA : Ada apa?
SI PECI : Makan tidak bayar.
SI TUA : Siapa, pemuda ini?
SI PECI : Ya, pemuda ini?
SI KACAMATA : Segagah ini?
SI PECI : Kalau tidak gagah barangkali tidak berani ia menipu (pada pemuda) Hei,
pemuda. Kau punya uang tidak?
PEMUDA (lama) Punya.
SI PECI : Nah, kenapa mesti tidak bayar?
PEMUDA : Uang saya ketinggalan.
SI PECI : Ketinggalan? Lebih baik tidak usah berbohong. Kalau bersikeras semua orang
akan mengempalkan tangannya dan darah akan mengotori mukamu nanti. Bayar atau…
PEMUDA : Uang saya ketinggalan.
SI KURUS : Ketinggalan-ketinggalan. Sekarang mengakulah. Kau mau menipu ya?
SI PECI : Punya uang tidak?
SI KURUS : Mengaku.
SI PECI : Kau pasti tidak punya uang.
SI KURUS : Dan kau mengaku penipu.
SI TUA : Nah, bilang saja terus terang, jangan kau sakiti badanmu sendiri.
SI KACAMATA : Sudah kawan-kawan, saya yakin dia tidak beruang. Tapi….. Sebab itu lebih
baik ia menanggalkan celananya saja. Kalau memang dia berduit tentu ia nanti
boleh mengambil celananya kembali. Jadi celananya jadi jaminan. Bagaimana?
SI PECI : Ya, lebih baik begitu, semua orang setuju.
SI KURUS : Tanggalkan pakaianmu.
PEMUDA : Saya malu.
SI KURUS : Tidak, kau tidak punya malu. Kau tidak malu makan tidak bayar. Tanggalkan
celanamu! Tanggalkan!
SI PECI : Cepat!
PEMUDA : Saya tidak pakai celana dalam.
SI KURUS : Bohong, kau pembohong sebab itu kau pembohong.
PEMUDA : Sungguh mati. Demi Tuhan, tentang celana dalam saya tidak berbohong. Kalau
saya menanggalkan pantalon saya, saya telanjang. Oh, sungguh saya tidak tahu
bagaimana saya mengatakannya. Dan tentu saja sayapun tak dapat membuktikannya.
Percayalah kalau saya membuka celana, akan telanjanglah saya.
SI KURUS : Sejak tadi kau sedang menelanjangi dirimu sendiri dan kau diam-diam telah
memberi api pada setiap orang yang telah melihatmu.
Tiba-tiba seorang perempuan juragan batik bersama pembantu yang
memayunginya muncul dan ia tertarik untuk melihat kejadian itu.
PEREMPUAN : (dengan yang nyata-nyata dibuat-buat ia bicara pada si kacamata) Ada apa
to dik?
SI KACAMATA : Makan tidak bayar.
PEREMPUAN : Siapa?
SI KACAMATA : Si pemuda ini.
PEREMPUAN : O, lalu?
SI KACAMATA : Mula-mula dia mau menipu pura-pura akan mengambil uang yang katanya
ketinggalan tetapi agaknya dia berbohong. Sebab itu kami sepakat kalau ia
menanggalkan celananya untuk pengganti uang atau untuk jaminan kalau memang di
punya uang.
PEREMPUAN : Berapa tho, habisnya?
SI KACAMATA : Berapa dik?
SI KURUS : Delapan puluh rupiah.
PEREMPUAN : Ah, sedikit. Baiklah, jangan ribut-ribut. Kasihan. (mengambil uang dari
tasnya) Ini Mbok seratus rupiah.
SI KURUS : Nanti dulu, Mbakyu. Mbakyu bilang kasihan padanya, sehingga mendorong rasa
kasihan Mbakyu untuk membayarnya. Tidak, tidak, saya tidak tersinggung. Sayapun
memang kalau delapan puluh itu sedikit dan saya juga dapat atau siapa saja
masih mampu memberi, tapi bukan itu soalnya. Kalau Mbakyu kasihan padanya sama
seperti Mbakyu membantu melahirkan seorang bandit di tanah kewalian ini. Saya
juga maklum, apa yang Mbakyu lakukan itu mulia, tapi hal yang mulia juga minta
tempat dan saat yang tepat. Dan sekarang saat tidak minta yang sejenis itu. Apa
yang kami lakukan sekarang adalah juga kemuliaan, meskipun menampakkan
kekasaran dan penghinaan, tetapi ia juga bersama kemuliaan yang diridhoi Tuhan.
Dan jangan lupa saya dan teman-teman di sini atau siapa saja juga mampu kalau
berniat memberi anak pemuda ini uang seratus rupiah, tetapi bukan itu soalnya.
SI PECI : Ya, itu soalnya.
SI KACAMATA : Ya.
SI TUA (mengangguk-angguk)
Tanpa memberi reaksi apa-apa perempuan dan pembantunya pergi melanjutkan
perjalanan.
SI PECI : Sombong benar perempuan itu.
SI KURUS : Mau buka celana tidak?
PEMUDA (diam)
SI KURUS : Baiklah, tadi saya sudah berkata dan saya percaya bahwa kau bukan anjing,
karenanya kau pasti memiliki rasa malu. Baik, sekarang bajumu saja kau
tanggalkan.
SI PECI : Ya, baju saja.
SI KACAMATA : Ya, baju saja.
SI PECI : Ayo cepat.
SI TUA : Nah, sebentar lagi kalau mata orang-orang di sini copot dan melotot, maka
gemparlah di muka pabrik ini, sebab ada seorang pemuda yang dipukuli
ramai-ramai oleh orang banyak.
PEMUDA : Saya melepaskan baju saya, Pak!
SI KURUS : Lepaskan!
PEMUDA : Saya tidak berkaos.
SI PECI : Tak perduli. Tanggalkan.
SI KURUS : Malu, malu! Priyayi kamu? Ha? Tak berkaos malu, tapi berani menipu. Laknat
kau ini. Penipu bagi dirimu sendiri! Lepaskan!
PEMUDA : Saya akan melepaskan tapi bukan baju melainkan sepatu.
SI PECI : Sepatu kain yang jebol itu? Kau telah membuat dagelan yang lebih
menjengkelkan lagi tau?
SI KACAMATA : Ya, satu rupiah tak akan ada orang yang sudi membeli sepatu abunawas itu.
Tiba-tiba terdengar gemuruh suara truk. Mendekat dan berhenti tidak jauh
dari tempat itu.
SI KACAMATA : Nah, pak sopir datang. Biarlah dia yang membereskannya biar tahu rasa kalau
nanti lengannya sudah dikilir oleh pak sopir.
SI SOPIR : Ada apa hah?
SI PECI : Makan tak bayar.
SI SOPIR : Si kecil ini?
SI KACAMATA : Ya, si kecil ini.
SI SOPIR : (pada pemuda) Oo, sudah kenyang, hah? Terlalu pagi. Matahari masih terlalu
rendah untuk dikhianati. (pada si peci) Lalu, akan kita apakan dia?
SI PECI : Ia harus menanggalkan bajunya.
SI SOPIR : Begitu semestinya. Lebih baik makan baju daripada makan tidak bayar,
bukan? Lalu?
SI PECI : Ia menolak melepaskan bajunya.
SI SOPIR : Itu tidak adil, ia bisa menolak untuk telanjang badan tapi ia makan tanpa
bayar seenaknya. Itu tidak adil. (pada pemuda) He, anak muda. Kau pemuda
Indonesia, bukan? Tidak, jangan mengangguk! Kalau kau meng-iya-kan pertanyaan
saya kau sama dengan mengatakan bahwa pemuda Indonesia itu dibolehkan makan di
warung tanpa bayar. Tidak, tanah ini akan menangis mendengar cerita itu.
Dengarkan! Dulu waktu sehabis perang saya juga pernah menjadi pencopet, tanpa
perduli lagi. Tapi malang rupanya tangan ini terlampau kasar sehingga tangan
ini lebih suka diborgol, dalam penjara. Nah, di tempat yang sepi itu aku
mengakui bahwa aku telah menyakiti orang, menyakiti hati dari tanah yang kita
cintai ini dan pasti Tuhan akan menutup pintuNya bagi orang semacam aku. Sebab
itulah setelah aku keluar dari rumah yang baik dan mulia itu, kemudian aku
menjadi lebih maklum bahwa kita tak boleh berbuat jahat. Tidak, jangan. Tapi
dengarlah lagi! Kau tahu, kalau kau berjalan ke arah barat dari arah sini kau
akan sampai pada sebuah perempatan, di mana berdiri beberapa batang pohon
beringin. Kau tentu sudah tahu di belakang pohon beringin itu berderet asrama.
Dan kau tahu asrama apa itu? (lama) Asrama Polisi! Nah, kau suk kuantarkan ke
asrama itu?
PEMUDA (diam)
SI SOPIR : Suka! Tentu tidak, ya? Nah, copot bajumu!
PEMUDA : Saya malu.
SI SOPIR : Jangan malu-malu (keras) copot!
Pemuda menanggalkan bajunya pada si peci.
SI PECI : (menyerahkan baju kepada Simbok) Simpanlah baju ini Mbok. Nanti kalau ia
kembali membawa uang berikan baju ini.
SI SOPIR : Beres sudah! Ayolah, kita bekerja sekarang. Habis waktunya terbuang.
Orang-orang pergi, masuk ke dalam pabrik. Kecuali si sopir yang pergi ke
arah dari mana ia muncul tadi. Tapi belum lama dua langkah orang-orang bergerak
tiba-tiba….
SI KURUS : Saya kira kalau baju itu disimpan Simbok sekarang niscaya kurang aman.
Lebih baik baju itu dititipkan pada Abduh yang kerjanya dekat jendela.
SI PECI : Baiklah, Mbok, saya membawa bajunya ke dalam. Kalau ada apa-apa panggillah
saya. (menerima baju)
Beres sudah……orang-orang sudah mulai bekerja, di halaman ada simbok dan si
pemuda. Gemuruh mesin kembali nyata. Lewat seorang perempuan menjajakan jenang
gendul. Sangat nyaring suaranya.
PEMUDA : Mbok, mula-mula maksud saya tidak akan menipu. Sesudah dua hari ini saya
hanya minum air mentah saja. Tidak makan apa-apa.
SIMBOK (diam)
PEMUDA : Seminggu yang lalu saya masih di Klaten, bekerja di sebuah bengkel. Ya aku
tidak cukup dapat makan. Sebab itulah aku mencari pekerjaan di sini.
SIMBOK (diam)
PEMUDA : Asalku sendiri dari desa, desa yang wilayahnya di gunung kidul, Wonogiri.
Juga Mbok pun tahu tanah macam apa yang menguasai tanah macam gunung kidul itu.
Tanah tandus. Tanah yang tidak mengkaruniakan buah bagi mulut yang papa. Sebab
itulah aku turun dan mengembara sampai ke pesisir utara ini. Tapi jarak selatan
sampai ke pesisir utara tidak juga memberikan apa-apa. Karenanya aku terus
menyusuri ke Barat, ke tanah wali ini, dengan harapan tanah serta rumah di kota
ini akan sudi memberi makan saya. Tujuh hari sudah saya disini dan dua hari
sudah saya lapar. Dan pada hari ketiga kelaparan saya membawa saya kemari ke
tempat Mbok berjualan pecel. Tidak, saya tidak bermaksud menipu. Sekali-kali
tidak (menengadah) Tuhan, kutuklah aku!
SIMBOK : (bangkit dan bergerak menuju jendela dan berseru) Abduh! Abduh!
SI PECI : (di jendela) Ada apa Mbok?
SIMBOK : Mana baju tadi?
SI PECI : Dia membawa uang?
SIMBOK : Tidak, baju itu akan saya bawa ke pasar, saya jual.
SI PECI : Nanti direbut oleh anak itu lagi.
SIMBOK : Tidak, kemarikan saja.
SI PECI : Baiklah (lenyap dari jendela, kemudian Simbok menerima baju tadi lewat
jendela)
PEMUDA : Ya, Mbok sebelum saya memesan nasi pecel tadi saya sudah berjanji pada
diri sendiri, tidak, saya harus membayar! Entah kapan saja tapi harus bayar.
Demi Allah, hukumlah saya. Ya, Mbok kalaupun saya pergi tak kembali kesini atau
kapan saja saya pasti kemari untuk membayar makan saya. Ibu saya mengajarkan
kejujuran dan hukum bahwa, bekerja artinya tenaga, bahwa bekerja artinya makan.
Hal itu kusadari sejk aku mulai tahu bahwa tanah tempat saya berpijak sangat
keras, begitu angkuh dan tandus.
SIMBOK (memberikan baju tanpa berkata apa-apa)
PEMUDA : Tidak Mbok, bukan maksud saya minta dikasihani, saya hanya ingin
menceritakan dan saya hanya ingin mengatakan bahwa hati saya bersih. Terhadap
baju itu sudah rela dan paham bahwa barang itu patut saya berikan pada Simbok
sebagai ganti makanan yang telah saya makan.
SIMBOK : Terimalah.
PEMUDA : tidak.
SIMBOK : Terimalah.
PEMUDA : tidak.
SIMBOK : Terimalah.
PEMUDA : Mbok percayalah.
SIMBOK : Saya percaya sebab itu kau harus mau menerima baju kembali.
PEMUDA : Tapi baju ini bukan milikku lagi. Ibu bilang aku tidak boleh memiliki
barang kepunyaan orang lain. Tidak… Ada air mata di mata Simbok.
SIMBOK : Tidak.
PEMUDA : Saya tidak tahan melihat orang menangis, meskipun ibuku senantiasa menangis
setiap malam. Dan sekarang hanya tinggal tangisnya belaka sebab itu telah
lewat. Simbok kasihan pada saya lalu menangis? Tidak!
SIMBOK : Tidak, saya ingat anak saya.
PEMUDA : Simbok punya anak?
SIMBOK: Ya, satu-satunya, jantan yang cantik.
PEMUDA : Dimana sekarang?
SIMBOK : Di sini.
PEMUDA : Di sini?
SIMBOK: Di Kendal. Di PENJARA.
PEMUDA : Ha?
SIMBOK : Ya, sayapun tak pernah menyangka, anak saya itu akan menjadi pencuri
sepeda. Tidak, saya cukup memberi ia makan. Tapi barangkali disebabkan
pergaulannya atau barangkali saya salah mengajar atau mendidik dia
atau…..atau…..atau…. Oh, saya tidak tahu. Tapi aku tahu dan percaya matamu lain
dengan matanya. Saya melihat matamu bening, sebab itu saya yakin kau tidak
seperti anak saya. Kau seperti kemenakan saya. Kau pasti…Kau pasti anak baik.
(tiba-tiba) Akh, cepat terimalah baju ini dan segeralah kau pergi dari tempat
ini sebelum penjaga malam sampai kemari.
PEMUDA : (menerima baju itu) baiklah. Terima kasih dan selamat tinggal Mbok.
Begitu ia lenyap, muncul penjaga malam yang tampak baru selesai mandi. Ia
tampak kedinginan.
PENJAGA MALAM : Minta pecel yang pedes (kedinginan). Katanya tadi ada pemuda yang mau
menipu?
SIMBOK : (tak begitu acuh) Ya.
PEMJAGA MALAM : Bagaimana tampangnya?
SIMBOK : Kurus dan cantik.
PENJAGA MALAM : Pakai baju lurik.
SIMBOK : Ya, kalau tidak salah.
PENJAGA MALAM : Bajigur! Bajigur! Kurang ajar dia. Tapi dia tak jadi menipu di sini bukan?
Kemana ia? Jangkrik anak itu! Belut!
SIMBOK : Ada apa? Ada apa?
PENJAGA MALAM : Pasti dia. Kemarin malam dia juga menipu di sebuah warung di pasar Kauman.
SIMBOK : Haa….? (menelan ludah) Ya, Allah.
Langit di atas mulai kotor oleh nafas manusia dan lalu lintaspun mulai
lebih ramai. Seorang anak laki-laki menjajakan es lilin lewat, tanda hari sudah
siang. Suaranya nyaring, menyembul di sela-sela kesibukan.