Archive for Juni 2014

Kamis, 12 Juni 2014


cerpen karya Esti P. Ini mengisahkan tentang kehidupan metropolitan seorang wanita. Dengan penggunaan bahasa yang tinggi, cerpen bukanlah karya yang bisa langsung diterima oleh pikiran, melainkan harus dicerna baik-baik karena banyak sekali kalimat ambigu di dalam cerpen ini. Penulis memakai kata “Bercinta” sebagai kata kiasan yang bermakna melebih-lebihkan pekerjaan yang dilakukan.
Memang, jika orang yang belum paham betul tentang sastra indonesia membaca cerpen ini, pasti mereka akan berfikir bahwa cerpen ini adalah cerpen dewasa. Padahal, jika kita mengamati dengan seksama, tidak ada sama sekali unsur dewasa dalam cerpen ini. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama belajar untuk lebih memperhatikan hal-hal yang detail
Berikut contoh cerpen beserta naskah drama yang juga diadaptasi dari cerpen ini

BERCINTA
 
Aku bercinta dalam kesunyian yang panjang, dalam waktu yang membunuh detik tanpa pilu, bercinta dengan gemerlap malam, dengan bintang-bintang yang tertindih bulan, dengan nafas kerinduan yang merintih, dengan kata tanpa makna yang aku tak pernah tau...
Aku bercinta dengan diriku, sunyi itu kembali merapat dalam mata yang merindu, aku sedang bercinta dalam damai...dengan jiwaku..
***
Lelaki itu datang menghampiriku, matanya bersinar seperti bulan purnama, aku sibuk dengan laptop di meja kerjaku
“I Love You,” katanya datar padaku sambil berbisik.
Aku tersenyum, dirinya datang kembali ke meja kerjaku
“Pacarku,” katanya sambil menunjukan foto lelaki dengan topi hitamnya.
Aku diam, lalu menjawabnya “pacar apa suami?”
Dia membalasnya
“Suami..hahahaha,” dia tertawa sambil menutup mulutnya.
“Lelaki menikah dengan lelaki?” kataku lagi.
“Nikmat,” jawabnya riang.
“Apanya?” balasku.
“hahahahahaha” Lalu kami tertawa bersama.
Lelaki itu, bercinta dengan dirinya sendiri, dengan rindu yang mungkin tak pernah dia lukis dalam kanvas. Aku menatapnya dari kejauhan perlahan, matanya masih terpaku menatapku, bibirku tersenyum. Lelaki itu bercinta dalam rindu tanpa makna, yang mungkin tak pernah dapat dia rasakan itu dalam dunia nyata...
Dia...
Telah bercinta dengan kerinduannya, keluar dari kodrat yang sesungguhnya..
***
Pagi ini, mentari datang dengan kicauan burung yang menari, aku lupa tadi malam, suara apa yang kudengar kala bercinta, bercinta dalam damai dengan jiwa tanpa kata, yang pasti aku telah mampu melukisnya, meski jejaknya hilang tanpa jeda.
Demontrasi menghadang jalan utama, aku melirik arlojiku, telat satu jam sepuluh menit. Aku melihat para demonstran yang berteriak dengan kata untuk para pemilik tahta.
Mereka telah bercinta, bercinta dengan kerinduan akan kebebasan bersuara, bercinta dengan jiwa-jiwa yang tenang namun berkuasa.
Mereka bercinta, dengan terik matahari pada suara-suara gaduh tanpa peluh. Tanpa nafas yang tercekat dan lelah, mereka bercinta dengan kebebasan, dengan kerinduan akan keinginan dan harapan.
***
Bintang menari-nari dalam pelupuk surya yang tenggelam, tak ada kata, mobil-mobil mewah itu terhenti dalam rumah yang tak lagi mewah.
Di dalamnya puluhan wanita telah bercinta dengan kepalsuan mereka, dengan gincu yang melekat pada bibir yang mendesah dengan peluh, tak ada lagi hasrat, tak ada lagi cinta, karena mereka telah bercinta, dengan kepalsuan tanpa kata-kata.
Suara musik pelipur lara, puluhan wanita itu menggoyangkan pinggul mereka menikmati indahnya dunia. Mereka sadar, bahwa mereka telah bercinta, dengan tangis tanpa airmata.
***
Suara hentakan kaki pada tangga-tangga di pusat perbelanjaan itu,  memekakkan telinga. Mungkin bukan telinga mereka atau kita, namun telinga para penjaga yang telah bercinta dengan dinginnya malam dibawah kolong langit tanpa atap.
Bercinta dengan keinginan yang tak perlu, bercinta dengan hasrat yang juga tak pernah ada sebelumnya.
Bercinta dengan lorong-lorong dalam terangnya cahaya, mereka telah bercinta, dalam kemewahan berbalut keinginan tanpa tembok pembatas yang pernah ada sebelumnya.
***
“Permisi” kata perempuan cantik dengan rambut hitam sebahunya.
Lelaki itu menatapnya lalu mempersilahkannya masuk
“Apa kabar?” kata lelaki itu sambil menggoyangkan penanya.
“Baik pak” jawab perempuan itu datar
Mereka terdiam, bercinta dengan pikirannya, dengan kerinduannya yang datang tanpa suara
“Aku merindukanmu” kata lelaki itu berbisik dalam batinnya
“Aku juga” perempuan itu menatap tangan lelaki itu yang terus menggoyangkan penanya.
Mereka telah bercinta, bercinta dalam jiwa yang menari-nari dengan dinding pembatas. Bercinta dengan kata tanpa kejujuran, dengan area yang terlindungi, dengan sisi rasional yang berjalan berdampingan dengan sisi dramatis.
“Aku mencintaimu” nyaris tanpa suara keduanya berkata-kata.
Lelaki itu menyerahkan filenya, lalu perempuan itu berjalan keluar ruangan menuju mejanya.
“Hati-hati” kata si lelaki
Perempuan itu menunduk tanpa kata, menghampiri mejanya, lalu mengambil ponselnya dan mengirimkan sms untuk sahabatnya
To:
Sahabatku
+62816170xxxxx
08: 35 WIB
Aku bahagia,hari ini bertemu dengannya,  meski hanya sebentar. Aku bahagia melihatnya bahagia.  Aku mengerti ini hasrat yang harus aku hapus, Meski sulit, namun aku yakin aku mampu. Ada hati yang akan tersakiti jika aku maju tanpa jeda. Aku bukan miliknya, Dia bukan milikku. Tuhan tidak mempertemukan kita disaat yang tepat. Aku sadar itu. Apa benar aku harus melangkah pergi?
Perempuan itu menghapus airmatanya, menghapus hasratnya untuk bercinta dengan kerinduannya, dengan jiwa yang mungkin tak termiliki hari ini. Dengan keinginan yang datang lalu tak jua dapat pergi. Perempuan itu telah bercinta, bercinta dengan hatinya, melawan keinginannya.
***
Rindu memanggil dari kejauhan, setitik air turun dari langit membasahi bumi. Perempuan itu menatap lelaki yang terbaring disampingnya.
“Bagaimana kau dapat hidup dengan laki-laki yang tidak pernah kau cintai? Bertahun-tahun... menemaninya... memahami dan merawatnya? “ pertanyaan itu muncul di benak perempuan yang menatap laki-laki yang terbaring disampingnya hingga terlelap tanpa kata.
Tak lama datang seseorang yang sangat dinantikannya...
“Kau..” kata perempuan itu lemah
Lalu lelaki itu tersenyum
“Kemarilah..” lelaki itu menjawabnya, sambil membentangkan tangannya
Perempuan itu datang menghampirinya...memeluknya, mereka terbenam dalam dekapan kerinduan.
“Kemana kau?...” perempuan itu melanjutkan kata-katanya.
“Aku disini, dihatimu, bersama disetiap langkahmu...” lalu mereka saling memandang, terdiam bersama keheningan malam.
Mereka telah bercinta, bersama mimpi-mimpi mereka yang mungkin saja tertunda. Perempuan itu bercinta dengan bintang yang akan menjadi matahari, dengan mimpi yang tak akan menjadi nyata, dengan impiannya. Lelaki itu hanya mimpinya, belahan hatinya, serpihan dari tulang rusuknya yang belum disatukan Tuhan.
***
“Aku butuh kau, sekarang!” perempuan itu menutup ponselnya
Mereka bertemu di kedai kopi, menghirup secangkir kopi panas dengan aromanya yang khas.
“Aku bertemu sayed” kata perempuan itu antusias
“Lalu?” kataku
“Aku lepas kendali, aku membiarkan segalanya terjadi” perempuan itu menatapku dalam.
Airmataku tiba-tiba jatuh...menetes tepat pada secangkir kopi hangat.
“Kau mengerti maksudku?” katanya kemudian
“Hamil?” jawabku
Perempuan itu menggeleng...
“Aku berdosa pada suamiku, namun kau mengerti, aku tak pernah mencintainya!” katanya meyakinkanku
“Rasyid” mataku tertuju padanya
“Anak itu masih terlalu kecil untuk memahaminya” jawabnya datar
“Kau akan memperjuangkannya?” tanyaku menatapnya
“Ya, aku mencintainya, aku akan mengurus segalanya, sayed menungguku hingga segalanya selesai!” jawabnya yakin
Lalu aku tersenyum...
Perempuan itu, mengejar cintanya, dia telah bercinta dengan realita, dengan nyata yang tak mudah dapat diraihnya...
Lelaki itu telah bercinta..dengan cinta yang rumit, tapi dia memperjuangkannya. Dia telah bercinta, dengan realita.
***
From: 0811xxxxxxx
06.35 WIB
Halo
Aku membaca empat huruf itu lalu aku meletakkan ponselku ketempat semula.
Tak lama aku membasuh wajahku, dengan air wudhu. Berkeluh kesah dengan sang Maha Pencipta adalah obat paling mujarab meluapkan rasa. Kerinduan dan kekecewaan...
Aku kembali ke mejaku, melihat layarnya, panggilan tak terjawab.
“Pentingkah orang sepertinya menghubungiku? “ aku bertanya-tanya pada benakku, teriris pilu.
Aku kembali menghubunginya
“ada apa?” kataku datar
“Heiiii” jawabnya
“Iya ada perlu apa?” kataku kembali
“Kok, suaranya gitu!” jawabnya
“Harus bagaimana” aku menjawabnya
“biasanya ramah” dirinya mencoba mencairkan suasana
“ada keperluan apa?” kataku kembali
“Aku ada masalah, bisakah kita bertemu?” jawabnya datar
“Aku di Surabaya, seminggu lagi kembali, masalah apa?” aku masih saja datar.
“Apa anggota keluargaku ada yang menghubungimu?” katanya penuh tanya.
“Tidak” jawabku
“Baiklah, aku akan menghubungimu kembali” kata lelaki itu.
Aku menutup ponselku.
“ Apa lagi yang dia inginkan? Aku bukan siapa-siapa yang patut dia khawatirkan akan merusak hidupnya atau kehidupan rumah tangganya. Aku hanya perempuan biasa yang berjuang hidup untuk keluargaku dan kebetulan hatiku pernah memilihnya” aku berkata dengan diriku sendiri,membenamkan mimpi-mimpiku.
Ponselku kembali berdering..
“Anakku pergi, setelah membaca BBM kita” katanya
“Kita?” aku terbenam dalam pikiranku tanpa suara
“Memang apa yang salah dengan kita, aku tak pernah menggodamu meski dengan kata-kata dalam Blackberry Messanger” aku kembali berkata dalam pikiranku.
“Aku tegaskan sekali lagi, apa keluargaku pernah ada yang menghubungimu!” katanya padaku
Hatiku kembali tergores, kali ini letaknya sangat dalam...
“Paapaaaaa” aku memanggil lelaki itu dari kejauhan
Aku melupakan wajahnya, namun aku tak akan melupakan cintanya, kasih sayangnya.
Lelaki itu memelukku erat, tangannya meraih wajahku
“Aku mencintaimu nak, jaga adik-adikmu, jaga mama, jadilah anak yang baik” katanya perlahan sambil mencium keningku.
Aku melihat punggungnya menghilang perlahan...
Sepuluh tahun silam...
“Aku ingin menegaskan, apa keluargaku ada yang menghubungimu!” katanya kembali membuatku tersentak dari lamunanku
“Tidak” jawabku kepadanya
“memang kenyataannya seperti itu” aku berkata-kata dengan pikiranku sendiri
“Bawa dia pulang,aku yakin kau ayah yang hebat” kataku
“Baiklah... terima kasih ya” katanya sambil menutup ponselnya.
“Sampaikan salam sayangku untuknya” aku berkata dengannya tanpa kata-kata.
“Aku adalah seorang anak pernah merasakan, ayahnya pergi dengan perempuan lain dan tak pernah kembali. Kau tau? Aku tidak akan pernah membuat anak-anak lain merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan..tidak akan!” aku berkutat dengan pikiranku.

Aku menghapus sisa airmata yang menetes tepat jatuh di pelupuk mataku...
Aku menghapus mimpi-mimpiku, bercinta dengan kerinduan dan angin yang menghempas kehadapanku, menyampaikan kabarnya atau sepotong doaku untuknya.
Aku menghempaskan nafasku, bercinta dengan hatiku, bercinta dengan kapas-kapas dilangit yang jika aku menatapnya, aku mampu melihatnya atau bahkan menyentuhnya, dengan hatiku.
Aku telah bercinta...dengan bayangan bahwa dia nyata. Melepas janji-janji yang mungkin tak akan pernah terlupa...
Selamat Jalan cinta..
Mulai saat ini kita bercinta bersama mimpi-mimpi kita di alam yang tak nyata.
***
“Sah!” suara tamu undangan memecah kesunyian
Sepasang insan yang telah dipersatukan tulang rusuknya oleh Tuhan saling menatap bahagia.
Malam telah larut, bintang berpendar, bumi bergejolak..seperti gejolak nafas kedua insan yang telah bersatu dalam keindahan..
Mereka telah bercinta...
Bercinta dalam arti yang sesungguhnya
***

Tamat
Surabaya – GA 323 Mendarat di Jakarta
Mei
2013


NASKAH DRAMA “BERCINTA”

#Pembukaan

Aku bercinta dalam kesunyian yang panjang, dalam waktu yang membunuh detik tanpa pilu, bercinta dengan gemerlap malam, dengan bintang-bintang yang tertindih bulan, dengan nafas kerinduan yang merintih, dengan kata tanpa makna yang aku tak pernah tau...
Aku bercinta dengan diriku, sunyi itu kembali merapat dalam mata yang merindu, aku sedang bercinta dalam damai...dengan jiwaku..

Eki : (datang menghampiri Maya dan bebisik) I love you!

Maya : hmm (tersenyum sambil memandang kearah Eki)

Eki : ini pacarku (menunjukkan foto seorang lelaki bertopi hitam)

Maya : mm.. pacar apa suami? (menggoda)

Eki : ya suami lah.... hahaha

Maya : lelaki menikah dengan lelaki?

Emangnya enak?

Eki : jelaslah, Nikmat!

Maya : nikmat apanya ?

Eki : apanya ya? Tau sendirilah

Eki + Maya : hahahahaha...

Lelaki itu, bercinta dengan dirinya sendiri, dengan rindu yang mungkin tak pernah dia lukis dalam kanvas. Dia... Telah bercinta dengan kerinduannya, keluar dari kodrat yang sesungguhnya..
.........

Pagi ini, mentari datang dengan kicauan burung yang menari, aku lupa tadi malam, suara apa yang kudengar kala bercinta, bercinta dalam damai dengan jiwa tanpa kata, yang pasti aku telah mampu melukisnya, meski jejaknya hilang tanpa jeda

Maya : (menyetir mobil) Sial! Dasar demonstran kurang kerjaan. Bisanya Cuma demo saja! Ah! aku telat satu jam

Maya : (melirik keluar jendela mobil)
sedang demo apa sih mereka?

Demonstran 1 : pecat Ratu Atut dari kursi gubernur!

Demonstran 2 : kalau perlu, bakar saja hidup-hidup dia!
Mereka telah bercinta, bercinta dengan kerinduan akan kebebasan bersuara, bercinta dengan jiwa-jiwa yang tenang namun berkuasa. Mereka bercinta, dengan terik matahari pada suara-suara gaduh tanpa peluh. Tanpa nafas yang tercekat dan lelah, mereka bercinta dengan kebebasan, dengan kerinduan akan keinginan dan harapan.
Bintang menari-nari dalam pelupuk surya yang tenggelam, tak ada kata, mobil-mobil mewah itu terhenti dalam rumah yang tak lagi mewah.
Maya : (masuk ke tempat hiburan di mall) hai Angie
Angie : hai maya. Kenapa kau datang ke tempat terkutuk seperti ini?
Maya : tidak, hanya sekedar mengunjungi teman saja. Ngomong-ngomong, bagaimana pekerjaanmu disini
Angie : baik. Lagipula aku sudah punya pelanggan tetap
Maya : (sedikit canggung) apakah kau nyaman dengan pekerjaanmu?
Angie : kenapa kau tanyakan itu?
Maya : tidak apa-apa, hanya sekedar pertanyaan kepada sahabat masa kecilku.apakah kau menyukainya?
Angie : suka? Coba kau tanyakan pada semua perempuan yang ada disini, pasti jawabannya akan sama. Mereka bekerja disini bukan karena mereka suka, tetapi karena mereka butuh uang. Mereka sengaja memajang wajah cantiknya yang berupa kepalsuan, padahal jiwanya sudah hancur dihantam berkali-kali
Maya : lalu bagaimana denganmu? Apakah kau juga terkena pengaruh hantaman tersebut
Angie : entahlah, yang bisa menilai bukanlah aku, melainkan orang lain. Menurutmu?
Maya : (berusaha menutup-nutupi) kau masih tetap cantik, dan aku masih tetap iri padamu
Angie : terimakasih
Suara musik pelipur lara, puluhan wanita itu menggoyangkan pinggul mereka menikmati indahnya dunia. Mereka sadar, bahwa mereka telah bercinta, dengan tangis tanpa airmata.
..........
Suara hentakan kaki pada tangga-tangga di pusat perbelanjaan itu,  memekakkan telinga. Mungkin bukan telinga mereka atau kita, namun telinga para penjaga yang telah bercinta dengan dinginnya malam dibawah kolong langit tanpa atap.
Bercinta dengan keinginan yang tak perlu, bercinta dengan hasrat yang juga tak pernah ada sebelumnya.


Maya : (keluar dari tempat hiburan di mall) disini dingin sekali. Mungkin karena udara malam
Pengemis : tolong seikhlasnya mbak, saya hari ini belum makan
Maya : saya punya ini, ini bu (sambil memberikan kebab yang barusan dibelinya)
Pengemis : terimakasih nak. Saya iri sama kamu nak. Bisa beli makanan yang enak-enak. Sedangkan saya, beli makanan biasa saja belum tentu bisa. Saya daridulu ingin sekali menjad orang kaya. Mbak ini sangat beruntung
Maya : tidak bu, mungkin ibu yang lebih beruntung. Karena ibu lebih bijak dari saya. Ini kota metropolitan bu. Masalah saya mungkin jauh lebih rumit dari masalah ibu
Pengemis : (masih bingung dengan perkataan barusan)
Maya : kalau begitu saya pergi dulu bu...
...........
Tok,tok,tok. Suara pintu yang dipukul beberapa kali..
Apin : masuk!
Maya : (membuka pintu) selamat siang pak
Apin : (menatap sejenak) siang. Silahkan duduk
Maya : terimakasih pak
Apin : apa kabar
Maya : baik pak
(terdiam, saling menatap sambil menulis)
Aping : (berbicara dalam hati) aku merindukanmu
Maya : (berbicara dalam hati sambil menatap ayunan tangan Apin) aku juga merindukanmu
Mereka telah bercinta, bercinta dalam jiwa yang menari-nari dengan dinding pembatas. Bercinta dengan kata tanpa kejujuran, dengan area yang terlindungi, dengan sisi rasional yang berjalan berdampingan dengan sisi dramatis.

Apin + Maya : (berbisik nyaris terdengar) aku mencintaimu
Apin : ini filenya
Maya : terimakasih
Apin : (berbisik) hati-hati
Perempuan itu menunduk tanpa kata, menghampiri mejanya, lalu mengambil ponselnya dan mengirimkan sms untuk sahabatnyaTo:
Sahabatku
+62816170xxxxx
08: 35 WIB
Aku bahagia,hari ini bertemu dengannya,  meski hanya sebentar. Aku bahagia melihatnya bahagia.  Aku mengerti ini hasrat yang harus aku hapus, Meski sulit, namun aku yakin aku mampu. Ada hati yang akan tersakiti jika aku maju tanpa jeda. Aku bukan miliknya, Dia bukan milikku. Tuhan tidak mempertemukan kita disaat yang tepat. Aku sadar itu. Apa benar aku harus melangkah pergi?
...............
Maya : (menatap Eki disebelahnya, di tempat tidur) bagaimana aku bisa idup dengan laki-laki yang tidak pernah kucintai....bertahun-tahun.... menemaninya... memahaminya.... dan merawatnya
pertanyaan itu muncul di benak perempuan yang menatap laki-laki yang terbaring disampingnya hingga terlelap tanpa kata.
Maya : kau!...
Apin : (tersenyum) kemari!
Maya : dimana kau?
Apin : aku disini, dihatimu, bersama disetiap langkahmu..
Mereka telah bercinta, bersama mimpi-mimpi mereka yang mungkin saja tertunda. Perempuan itu bercinta dengan bintang yang akan menjadi matahari, dengan mimpi yang tak akan menjadi nyata, dengan impiannya. Lelaki itu hanya mimpinya, belahan hatinya, serpihan dari tulang rusuknya yang belum disatukan Tuhan.
..............
Maya : (mengirim SMS) aku butuh kau! Sekarang!
Mereka bertemu di kedai kopi, menghirup secangkir kopi panas dengan aromanya yang khas.
Maya : aku bertemu Apin
Angie : lalu?
Maya : aku lepas kendali, aku membiarkan semuanya terjadi begitu saja
Angie : apa!
Maya : kau mengerti maksudku kan?
Angie : hamil?
Maya : bukan
Angie : lalu apa?
Maya : aku telah berdosa pada suamiku. Kau tahu aku tidak pernah mencintainya. Sebenarnya, aku ingin mencerakan Eki, daripada hati ini semakin bimbang
Angie : bagaimana dengan Gaby, anakmu? Dia masih terlalu kecil untuk menerima kenyataan pahit ini
Maya : Gaby, aku sayang padanya. itu sebabnya akan kuperjuangkan dia di pengadilan nanti. Apin masih menungguku hingga masalah ini selesai
Perempuan itu, mengejar cintanya, dia telah bercinta dengan realita, dengan nyata yang tak mudah dapat diraihnya...
Lelaki itu telah bercinta..dengan cinta yang rumit, tapi dia memperjuangkannya. Dia telah bercinta, dengan realita..
.............
From: 0811xxxxxxx
06.35 WIB
Halo
Aku membaca empat huruf itu lalu aku meletakkan ponselku ketempat semula.
Tak lama aku membasuh wajahku, dengan air wudhu. Berkeluh kesah dengan sang Maha Pencipta adalah obat paling mujarab meluapkan rasa. Kerinduan dan kekecewaan...


Aku kembali ke mejaku, melihat layarnya, panggilan tak terjawab.
Maya : (menelpon balik) ada apa?
Eki : heiii
Maya : Iya, ada apa?!
Eki : kok jawabnya gitu sih
Maya : memangnya harus bagaimana?
Eki : biasanya ramah (berusaha mencairkan suasana)
Maya : ada perlu apa?
Eki : aku ada masalah, bisakah aku bertemu denganmu
Maya : aku sekarang di Surabaya. Seminggu lagi kembali. Ada masalah apa?
Eki : apakah keluargaku ada yang menghubungimu?
Maya : tidak
Eki : baiklah, aku akan menghubungimu lagi nanti
Maya : ya
Apa lagi yang dia inginkan? Aku bukan siapa-siapa yang patut dia khawatirkan akan merusak hidupnya atau kehidupan rumah tangganya. Aku hanya perempuan biasa yang berjuang hidup untuk keluargaku dan kebetulan hatiku pernah memilihnya. Ponselku berdering kembali
Eki : anakku, dia pergi setelah melihat BBM kita
Maya : kita? Kita! Memangnya apa yang salah dengan kita! , aku tak pernah menggodamu meski dengan kata-kata dalam Blackberry Messanger
Eki : Aku tegaskan sekali lagi, apa keluargaku pernah ada yang menghubungimu!
Hatiku kembali tergores, kali ini letaknya sangat dalam...
#Flashback
Maya : Paapaaaaa
Ayah : Aku mencintaimu nak, jaga adik-adikmu, jaga mama, jadilah anak yang baik
............
Eki : Aku ingin menegaskan, apa keluargaku ada yang menghubungimu!
Maya : tidak! Sudah dibilang tidak, ya tidak!
Maya : (berkata dalam hati) memang begitu kenyataannya
Maya : bawa dia pulang. Kau kan ayah yang hebat
Eki : baiklah, terimakasih
Maya : sampaikan salam sayangku pada Gaby
Eki : akan kusampaikan
Aku adalah seorang anak pernah merasakan, ayahnya pergi dengan perempuan lain dan tak pernah kembali. Kau tau? Aku tidak akan pernah membuat anak-anak lain merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan..tidak akan! aku berkutat dengan pikiranku.
.............
Aku menghempaskan nafasku, bercinta dengan hatiku, bercinta dengan kapas-kapas dilangit yang jika aku menatapnya, aku mampu melihatnya atau bahkan menyentuhnya, dengan hatiku. Aku telah bercinta...dengan bayangan bahwa dia nyata. Melepas janji-janji yang mungkin tak akan pernah terlupa...
Maya : Selamat Jalan cinta.. Mulai saat ini kita bercinta bersama mimpi-mimpi kita di alam yang tak nyata.
.............
Penghulu : saya nikahkan Abdillah Avinassetya binti ibunya dengan Maya Estianti binti bapaknya dengan maskawin seperangkat alat mandi dibayar tunai. Sah?
Orang-orang : Sah!
Sepasang insan yang telah dipersatukan tulang rusuknya oleh Tuhan saling menatap bahagia.
Apin : hari sudah malam, lagiula kita kan pengantin baru. Sudah sewajarnya kita melakukannya
Maya : baiklah, tunggulah disana
Malam telah larut, bintang berpendar, bumi bergejolak..seperti gejolak nafas kedua insan yang telah bersatu dalam keindahan..
Mereka telah bercinta...
Bercinta dalam arti yang sesungguhnya


TAMAT









Berikut merupakan analisis dari cerpen bila malam bertambah malam

No
Unsur Intrinsik
Penjelasan
Contoh Kutipan
1.
Alur
a.    Pemaparan (Eksposisi)
b.    Konflik
c.    Komplikasi
d.    Klimaks
e.    Resolusi / penyelesaian (falling action)
a.    pemaparan: berawal dari dialog antara Nyoman dengan Wayan sampai sebelum perdebatan mengenai hutang serta kepergian Nyoman. memaparkan juga sifat-sifat buruk Gusti Biang.
b.    Gusti Biang melarang Nyoman pergi sebelum melunasi hutang, sementara Nyoman merasa tidak punya hutang.
c.    Gusti Biang melarang Ngurah menikahi Nyoman.
d.    klimaks: Wayan membeberkan semua fakta yang selama ini disembunyikan.
e.    penyelesaian: Ngurah memutuskan mengejar Nyoman, akhirnya Wayan kembali bersatu dengan Gusti Biang
a. ”Kelihatan Nyoman sedang menyiapkan makan malam untuk Gusti Biang. Sementara Wayan mengampelas patung.”
b. ”Hutang apa? Nyoman tidak pernah meminjam uang.”
c. ”Tidak semua itu hasutan. Anakku tidak akan kuperkenankan kawin dengan bekas pelayannya. Dan, kami keturunan ksatria kenceng.Keturunan raja-raja Bali yang tak boleh dicemarkan oleh darah sudra.”
d. “Tiyang tahu semuanya, Tu Ngurah. Sebab tiyang yang telah mendampinginya setiap saat dulu. Sejak kecil tiyang sepermainan dengan dia, seperti Tu Ngurah dengan Nyoman........”
e. ”Kalau begitu Wayan tidak jadi pergi. Wayan akan menjagamu Sagung Mirah, sampai kita berdua sama-sama mati dan di atas kuburan kita, anak-anak itu berumah tangga dengan baik.”
2.
Tokoh dan wataknya
a.    Gusti Biang
b.    Nyoman
c.    Wayan
d.    Ngurah
a.    Gusti Biang: Pemarah, keras kepala, sombong, perhitungan
b.    Nyoman: Sabar, teguh hati, setia
c.    Wayan: Bijaksana, sabar, menenangkan/penengah
d.    Ngurah: Rendah hati
a.    Pemarah: “Siapa bilang? Itu tak ada lobangnya sama sekali, toko itu menjual kawat utuh kepadaku. Setan alas.”
Keras kepala: “Hari ini aku tak mau minum obat.”
Sombong: “Tak kubiarkan lagi kau bermain di pangkuanku, berak, ngompol. Memang aku ini pelayanmu?”
Perhitungan: “Nah, disini dicatat semua perongkosan yang kau habiskan selama kau dipelihara disini. Nyoman Niti, asal dari desa Maliling, umur lebih kurang delapan belas tahun. Kulit kuning dan rambut panjang. Badan biasa, lebih tinggi sedikit dari Gusti Biang. Mulai dari tahun lima puluh empat, lima pasang baju, sebuah boneka, sebuah bola bekel, satu biji kelerang, satu tusuk konde, .......”
b.    Sabar: “Tiyang cicipi ya? Cobalah Gusti Biang ... mmm segar.”
Teguh hati: “Obat-obat ini dikirimkan dokter Gusti. Harus dihabiskan.”
Setia: “Lebih dari sepuluh tahun tiyang menghamba di sini. Bekerja keras dengan tidak menerima gaji. Kalau tidak ada Bape Wayan sudah lama tiyang pergi dari sini. Selama ini tiyang telah membiarkan diri diinjak-injak, disakiti, dijadikan bulan-bulanan seperti keranjang sampah. Tidak perlu rentenya, pokoknya saja. Hutang Gusti Biang kepada tiyang, sepuluh juta kali sepuluh tahun. Belum lagi sakit hati tiyang karena fitnahan dan hinaan Gusti. Pokoknya melebih harta benda yang masih Gusti miliki sekarang. Tapi ambillah semua itu sebagai tanda bakti tiyang yang terakhir.”
c.    Setia: “Tidak, titiyang tidak takut sama leak atau memedi, tetapi memutar leher Nyoman, piih, lebih baik memutar leher tiyang sendiri. Perawan yang begitu cantik, baik, mahal.”
Bijaksana: “Baik, kutuklah tiyang. Usir sekarang, tapi jangan menyuruh menyakiti orang dalam usia lanjut. Orang sedang bertapa dan bertobat disuruh mukul orang. Kalau ular belang atau ular hijau, cacing tanah atau ulat bulu, Wayan akan bunuh untuk keselamatan Gusti seperti tiga bulan lalu. Gusti duduk di sini dan titiyang di sana di bawah pohon sawo. Tiba-tiba Gusti Biang berteriak “ULAR”. Sekejab mata ular itu telah menjadi delapan potong, ya tidak?
Menenangkan : “Jangan gampang marah Gusti, itu Cuma angan-angan. Sabarlah. Kalau usia sudah lanjut, tambahan lagi penyakitan, tak baik marah-marah malam begini!”
d.    Rendah hati: “Tiyang akan kawin dengan Nyoman. Sekarang ini soal kebangsawanan jangan dibesar-besarkan lagi. Ibu harus menyesuaikan diri, kalau tidak ibu akan ditertawakan orang. Ibu...”
3.
Tema
Perbedaan Kasta
GUSTI BIANG : “Dia tidak pantas menjadi istrimu! Dia tidak pantas menjadi menantuku!


4.
Amanat
a.    Perlakukan semua orang dengan sederajat tanpa memandang kasta
b.    Setiap orang tidak akan mampu hidup tanpa orang lain, maka hormatilah semua orang dan bertindaklah baik
c.    Kendalikan emosimu, karena hal tersebut mempu mencederai jiwa maupun raga seseorang
d.    Mengakui dan menerima segala kenyataan/kebenaran adalah bangsawan yang sesungguhnya
e.    Ikhlaskan hati untuk memberi pada seseorang, sekecil apapun itu
f.     Kejujuran yang pahit akan lebih baik
g.    Jagalah perkataanmu, Karena perkataan seseorang bisa lebih tajam dari sebuah pisau
a.    NGURAH : “Kenapa tidak ibu? Kenapa? Siapa yang menjadikan Sagung Rai lebih pantas dari Nyoman untuk menjadi istri? Karena derajatnya? Tiyang tidak pernah merasa derajat tiyang lebih tinggi dari orang lain. Kalau toh tiyang dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan tiyang harus berhati-hati. Harus pintar berkelakuan baik agar bisa jadi teladan orang, yang lain omong kosong semua!
b.    NYOMAN : “Orang kebanyakan saja mempunyai kasih sayang dan menghargai orang lain. Tapi Gusti, di mana letak keagungan Gusti? Cobalah Gusti berjalan di jalan raya seperti sekarang, Gusti akan ditertawakan oleh orang banyak. Sekarang orang tidak lagi diukur dari keturunan tapi kelakuan dan kepandaianlah yang menentukan. Sekarang tidak hanya bangsawan, semua orang berhak dihormati kalau baik. Begitu mestinya.
c.    WAYAN : “Jangan gampang marah Gusti, itu cuma angan-angan. Sabarlah. Kalau usia sudah lanjut, tambahan lagi penyakitan, tak baik marah-marah malam begini!

5.
Setting / latar
a.    ......................
b.    ......................   


a.   latar tempat: di daerah Bali, kediaman Gusti Biang; ruang depan, halaman rumah, tempat tidur Gusti Biang, puri Tabanan.
b.   latar waktu: kebanyakan terjadi di malam hari.
a.    Di ruang depan ada kursi goyang dan kursi tamu. Gusti Biang ngomel terus.
b.    Malam di tempat kediaman Gusti Biang. Sebuah bale yang disempurnakan untuk tempat tinggal.
6.
Dialog
Dialog masih banyak tercampur bahasa Bali, banyak juga umpatan atau kata-kata yang kurang sopan.
-       “Nuna sugere Gusti Biang, kedengarannya seperti ada yang berteriak....”
-       “Tentu saja Gusti Biang, itu sebabnya tiyang datang...”
-       “Kau... kau setan, kukira ular belang jatuh dari pohon, bikin sakit jantungku kumat lagi.”
-       “Setan!Setan! Kau tak boleh berbuat sewenang-wenang di rumah ini......”
-       “Bedebah! Anjing ompong! Setelah mengusir dia aku akan mengutuk kau, biar mati kelaparan di pinggir kali.”


BABAK I
MALAM DI TEMPAT KEDIAMAN GUSTI BIANG. SEBUAH BALE YANG DISEMPURNAKAN UNTUK TEMPAT TINGGAL.
GUSTI BIANG MEMANGGIL-MANGGIL WAYAN.

Adegan I

KELIHATAN NYOMAN SEDANG MENYIAPKAN MAKAN MALAM UNTUK GUSTI BIANG. SEMENTARA WAYAN MENGAMPELAS PATUNG. ORIGINAL SOUNTRACK: WAYAN .. Wayaaaaaan ....
NYOMAN MEMBERI ISYARAT KEPADA WAYAN.

NYOMAN
Benar Ida akan pulang hari ini?

WAYAN
Ya ....


Adegan II

DI RUANG DEPAN ADA KURSI GOYANG DAN KURSI TAMU. GUSTI BIANG NGOMEL TERUS.

GUSTI BIANG
Si tua itu tak pernah kelihatan kalau sedang dibutuhkan. Pasti ia sudah berbaring di kandangnya menembang seperti orang kasmaran pura-pura tidak mendengar, padahal aku sudah berteriak, sampai leherku patah. Wayaaaaan ..... Wayaaaaan tuaaaa.....

WAYAN
Nuna sugere GUSTI BIANG, kedengarannya seperti ada yang berteriak ................

GUSTI BIANG
Leherku sampai putus memanggilmu, telingamu masih kamu pakai tidak?

WAYAN
Tentu saja Gusti Biang, itu sebabnya tiyang datang .........

GUSTI BIANG
Jangan berbantah denganku. Kau sudah tua dan rabun, lubang telingamu sudah ditempati kutu busuk. Kau sudah tuli, malas dan suka berbantah, cuma bisa bergaul dengan si belang. Kau dengar itu kuping tuli?

WAYAN
Betul Gusti Biang.

WAYAN MENINGGALKAN RUANGAN DAN GUSTI BIANG TETAP DUDUK DAN MENGAMBIL JARUM. BERULANG-ULANG MENGGOSOK MATA SAMBIL MENGGERUTU.


Adegan III

GUSTI BIANG
Lubangnya terlalu kecil. Benangnya terlalu besar, sekarang ini serba terlampau. Terlampau tua, terlampau gila, terlampau kasar, terlampau begini, terlampau begitu. Sejak kemarin aku tidak berhasil memasukkan benang ini. Sekarang mataku berkunang-kunang. Oh, barangkali toko itu sudah menipu lagi. Atau aku terbalik memegang ujungnya? Wayaaaaan ...

NYOMAN (Muncul Dengan Baki Di Tangannya Dan Lampu Teplok)
Bagaimana Gusti Biang? Sudah sehat rasanya.

GUSTI BIANG TIDAK MENGHIRAUKAN DAN TETAP MEMASUKKAN BENANG KE JARUMNYA

NYOMAN
Gusti Biang, ini air daun belimbing, bubur ayam yang sengaja tiyang buatkan untuk Gusti.

(Melihat Kesulitan Gusti Biang)

Mari tiyang tolong.

GUSTI BIANG
Waaayaaaaan ...

(Kaget Karena Sentuhan)

Ulaaaaar......

NYOMAN
Ya ya kenapa Gusti terkejut ini kan Nyoman ....

GUSTI BIANG
Kau? Kau

TERBATUK

NYOMAN
Nah, itu sebabnya kalau belum santap malam. Apalagi sejak beberapa hari ini Gusti sudah tidak mau minum jamu lagi, minum sekarang ya?

GUSTI BIANG
Kau .. kau setan, kukira ular belang jatuh dari pohon, bikin sakit jantungku kumat lagi.

NYOMAN
GUSTI BIANG takut sekali dengan ular, kenapa?

GUSTI BIANG
Binatang itu menggigit dan menjijikkan.

NYOMAN
Tapi tidak semua ular berbahaya.

(Tersenyum)

Tiyang juga takut pada ular.

GUSTI BIANG
Aku tak perduli. Apa tugasmu di sini?

NYOMAN
Sekarang sudah saatnya Gusti Biang minum obat.

GUSTI BIANG
Hari ini aku tak mau minum obat.

NYOMAN
Oh ya, baik tiyang tolong dulu Gusti memasukkan benang ke jarumnya.

GUSTI BIANG
Juga tidak. Kau tidak diperlukan di sini

NYOMAN (Memungut jarum di lantai)
Coba dari tadi memanggil tiyang, tidak jadi kusut begini. Gusti Biang terlalu sayang pada Bape Wayan. Lihat gampang bukan?

GUSTI BIANG
Kau jangan menyindir aku, tentu saja semuanya bisa begitu. Aku juga bisa mengerjakannya, tapi lobangnya yang terlampau sempit.

NYOMAN
Terlampau sempit? Piih, semua jarum dibuat kecil Gusti, makin halus makin mahal harganya

TERSENYUM

GUSTI BIANG
Siapa bilang? Itu tak ada lobangnya sama sekali, toko itu menjual kawat utuh kepadaku. Setan alas.

NYOMAN
Tak percaya? Coba sekali lagi.

GUSTI BIANG
Jangan berlagak di sini

(Mengacungkan tongkat).

Ini bukan arje roras! Aku sudah bosan dibohongi dengan sulapan palsumu. Kau pikir aku tak bisa menguasai jarum kecil itu, piih, lakiku sendiri tak pernah menghina aku demikian ...

NYOMAN
Ambilah Gusti Biang. Gusti boleh menyulam sekarang

(Melihat lampu).

Tapi di sini terlalu gelap

(Membesarkan).

Nah, sekarang sudah cukup terang. Ambil Gusti.

GUSTI BIANG
Tidak! Kau mulai menyulap aku lagi, aku tak sudi menyentuh barang sihirmu. Suasana kotor sekarang.

NYOMAN
Kalau begitu, tiyang ikatkan saja ujung benang ini ke kainnya, nanti Gusti Biang meneruskannya saja.

GUSTI BIANG
Pergi! Pergi! Nanti kupanggilkan Wayan supaya kau diusir ....

(NYOMAN TIDAK PERDULI, MENERUSKAN SULAMAN SAMBIL BERNYANYI KECIL)

GUSTI BIANG
Dewa Ratu .. Kau telah merusak sarung bantal anakku .... Waayaaannn.. Waayaaaaaan ....Dimana pula setan itu, Wayaaaan ....

NYOMAN
Sayang sekali Gusti Biang tidak menyuruh Tiyang yang mengerjakannya. Mestinya, ditengahnya bisa disulam dengan warna biru muda. Lalu dengan menulis rapih “Selamat malam kasih, selamat malam pujaan, selamat malam manis, good night my darling”.

GUSTI BIANG
Setan! Setan! Kau tak boleh berbuat sewenang-wenang di rumah ini. Berlagak mengatur
orang lain yang masih waras. Apa good, good apa? Good bye! Menyebut kekasih, manis, kau pikir apa anakku. Wayan akan menguncimu di dalam gudang tiga hari tiga malam, dan kau akan meraung seperti si belang.

NYOMAN
Aduh cantiknya Gusti Biang. Seperti seekor burung merak. Seperti lima belas tahun yang lalu ketika tiyang masih kecil dan sering duduk di pangkuan Gusti. Masih ingatkah Gusti?

GUSTI BIANG
Tak kubiarkan lagi kau bermain di pangkuanku, berak, ngompol. Memang aku ini pelayanmu?

NYOMAN
Gusti Biang memang orang yang paling baik dan berbudi tinggi. Tidak seperti orang-orang lain, Gusti. Gusti telah menyekolahkan tiyang sampai kelas dua SMP, dan Gusti sudah banyak mengeluarkan biaya. Coba tengok bayangan Gusti di muka cermin, seperti
tiga puluh tahun saja .. Mau minum obatnya sekarang Gusti?

GUSTI BIANG
Tidak!

NYOMAN
Tiyang cicipi ya? Cobalah Gusti Biang ... mmm segar.

GUSTI BIANG
Sepatahpun aku tak ingin bicara lagi denganmu.

NYOMAN
GUSTI BIANG, pil ini musti ditelan satu persatu. Pakai pisang ambon atau pisang susu, atau air. Pilih mana yang Gusti suka. Tidak pahit rasanya Gusti. Dan dalam tempo seperempat jam, Gusti akan merasa segar. Sesudah itu minum puyer ini, untuk menghilangkan pusing-pusing Gusti.

GUSTI BIANG
Tidak!

NYOMAN
Obat-obat ini dikirimkan dokter Gusti. Harus dihabiskan.

GUSTI BIANG
Tidak, tidak. Aku tahu semuanya itu. Kalau aku menelan semua obat-obatmu itu, aku akan tertidur seumur hidupku, dan tidak akan bangun-bangun lagi, lalu good bye. Lalu kau akan menggelapkan beras ke warung cina. Kau selamanya iri hati dan ingin membencanaiku ... Kalau sampai aku mati karena racunmu, Wayan akan menyeretmu ke pengadilan.

NYOMAN
Dan yang terakhir baru menggosok punggung dan seluruh anggota badan Gusti yang terbuka dengan minyak kayu putih.

GUSTI BIANG
Tidak, tidak. Tidak akan kubiarkan tubuhku ditelanjangi dan disentuh orang-orang yang kurang ajar. Aku bukan ibumu, aku bukan nenekmu.

NYOMAN
Nah sekarang kita mulai dengan tablet-tablet ini Gusti. Menurut resep boleh ditelan atau dihancurkan, mana yang Gusti pilih. Kita mulai dengan pil merah ini Gusti.

GUSTI BIANG
Dewa Ratu ....

NYOMAN
Sebaiknya ditelan saja Gusti, itu yang paling aman ....

GUSTI BIANG
Aku tak mau dibujuk, mana si Wayan kambing tua itu. Setan ini benar-benar mau meracuniku, Waaayaaaan ..

NYOMAN
Ayo cepat Gusti. Tidak akan merasa pahit dan sakit.

GUSTI BIANG
Wayan tolong Wayan.

NYOMAN
Letakkan saja di atas pisang di ujung lidah. Lantas pejamkan mata. Lihat, dan secepat kilat akan meluncur Gusti.

GUSTI BIANG
Ah ... racunlah dirimu sendiri, gosok punggungmu sendiri. Buat apa kau meributkan benar penyakit orang lain. Itu tugas dokter di rumah sakit, dan bukan tugas penyeorangan seperti engkau .... Kalau memang aku sakit, aku akan berbaring di kamarku, dan memanggil Wayan supaya memijat keningku. Tidak ada yang salah kalau lelaki itu di sini. Wayaaaan
..Wayaaaan, lehermu akan diputar nanti.

NYOMAN
Kenapa Gusti Biang jadi seperti ini, Gusti mengecewakan tiyang.

GUSTI BIANG
Sakit gede, seumur hidupmu. Kalau akhirnya aku mati karena racunmu, awas-awaslah, rohku akan membalas dendam. Aku akan diam di batang-batang pisang dan di batu-batu besar, dan akan mengganggumu sampai mati. Tiap malam, bila malam bertambah malam. Setan, pergi kau, pergi. Sebelum kulempar dengan tongkat ini, pergi!

NYOMAN
Baiklah Gusti. Baiklah Gusti, tak apalah. Tapi tentunya Gusti lebih senang kalau puyer ini yang diminum lebih dahulu, baru kemudian menyusul pil-pil yang lain, atau Gusti ingin bersantap malam dulu. Percayalah Gusti, tidak akan terjadi apa-apa.

GUSTI BIANG
Wayaaaaaan ... Wayaaaaa. Tolong Wayaaaaaan ...

NYOMAN
Lihat Gusti. Gusti sudah merusak badan Gusti sendiri dengan berteriak-teriak.

GUSTI BIANG
Pergi kau leak. Pergi pergi ...pergi ...

NYOMAN
Gusti telah menyakiti tiyang lagi. Saya akan pergi. Saya akan pergi sekarang juga.

GUSTI BIANG
Ya, pergi kau sekarang juga. Bedebah. Leak. Pil-pil tiap hari dicekoki pil.

NYOMAN
Waktu putra Gusti pergi lima tahun lalu. Ide berpesan pada tiyang. Jaga baik-baik ibuku NYOMAN, peliharalah kesehatannya, jangan biarkan beliau menderita. Sekarang Gusti Biang dinyatakan sakit. Gusti harus berobat.

GUSTI BIANG
Diam! Diam!

NYOMAN
Baiklah kalau begitu

(Hendak pergi)

Gusti tidak usah berobat. Ya, apa peduli tiyang, segera Gusti akan terkapar lesuh. Malam akan bertambah malam jua

SAMPAI DI PINTU IA BERBALIK DAN MENDEKATI MEJA

GUSTI BIANG
Apa perdulimu?

NYOMAN
Tapi semua itu akan segera hilang ...Kalau Gusti mau meneguk air daun belimbing ini. Jamu ini diramu berdasarkan petunjuk dukun kesayangan Gusti Biang. Tiyang sudah mencampurnya dengan akar-akaran yang harum dan akan menguatkan badan. Pasti Gusti Biang tidak akan batuk lagi. Gusti Minumlah .....

GUSTI BIANG
Kau memang setan licik!

(Berteriak hendak memukul. Nyoman menarik dari belakang)

Lepaskan! Lepaskan leak! Wayan, Wayaaaan

NYOMAN BERHASIL MENDUDUKKAN GUSTI BIANG DI KURSI TAPI GUSTI BIANG MEMUKUL BERTUBI-TUBI DAN NYOMAN BERLARI KE SUDUT RUANG

NYOMAN
Cukup! Cukup! (Berlari mengelilingi meja)

GUSTI BIANG (Terus memukuli Nyoman dan Nyoman merebut tongkat)
Wayan tolong Wayaaaan ...

NYOMAN
Tak tiyang sangka Gusti sudah seberat ini! Tak tiyang sangka. Tiyang akan pergi ke desa, tak mau meladeni Gusti lagi!

GUSTI BIANG
Pergi leak! Aku sama sekali tidak menyesal!

NYOMAN (Berlari keluar)
Tiyang tidak akan kembali lagi!

GUSTI BIANG
Pergi sekarang juga! Wayaaan Wayan tua ...

(Duduk)

Ratu Singgih, moga-moga tulahlah perempuan itu, Wayaaan ..........

Adegan IV

WAYAN MASUK

WAYAN
Kalau tak salah seperti ada yang berteriak ...

GUSTI BIANG
Tua bangka, ke mana saja kau tadi, kenapa baru datang?

WAYAN
Tiyang ketiduran di gudang.

GUSTI BIANG
Kejar setan itu, putar lehernya! .. Kejar dia goblok!

WAYAN
Mana ada setan sore-sore begini Gusti?

GUSTI BIANG
Kejar perempuan setan itu.

WAYAN
Perempuan, perempuan yang mana Gusti?

GUSTI BIANG
Begundal itu! Masukkan dia ke gudang!

WAYAN
Maksud Gusti, Nyoman?

GUSTI BIANG
Usir dia dari rumah ini!

WAYAN Tetapi ... tetapi ...

GUSTI BIANG
Tua bangka, pukul dia sampai mati, putar lehernya. Diam saja seperti kambing!

WAYAN (Tertawa)
Gusti, Gusti, tidak ada kambing di sini!

GUSTI BIANG
Kau juga tidak waras!

WAYAN
Tetapi, memukul? Memutar leher?

GUSTI BIANG
Penakut!

WAYAN
Tidak, titiyang tidak takut sama leak atau memedi, tetapi memutar leher Nyoman, piih, lebih baik memutar leher tiyang sendiri. Perawan yang begitu cantik, baik, mahal.

GUSTI BIANG
Dia mau meracunku.

WAYAN
Meracun? Masak, ada yang berniat meracun Gusti.

GUSTI BIANG
Kau tukang ngotot.

WAYAN
Jangan gampang marah Gusti, itu cuma angan-angan. Sabarlah. Kalau usia sudah lanjut, tambahan lagi penyakitan, tak baik marah-marah malam begini!

GUSTI BIANG
Bedebah! Anjing ompong! Setelah mengusir dia aku akan mengutuk kau, biar ,mati kelaparan di pinggir kali.

WAYAN
Baik, kutuklah tioyang. Usir sekarang, tapi jangan menyuruh menyakiti orang dalam usia lanjut. Orang sedang bertapa dan bertobat disuruh mukul orang. Kalau ular belang atau ular hijau, cacing tanah atau ulat bulu, Wayan akan bunuh untuk keselamatan Gusti seperti tiga bulan lalu. Gusti duduk di sini dan titiyang di sana di bawah pohon sawo. Tiba-tiba Gusti Biang berteriak “ULAR”. Sekejab mata ular itu telah menjadi delapan potong, ya tidak?

GUSTI BIANG
Ular ...?

WAYAN
Jangan takut. Ular kelihatannya saja berbahaya, tapi sebenarnya binatang yang paling pemalu dan lucu. Titiyang sendiri sering menyimpan ular sawah dalam saku untuk dibelai pada waktu senggang, ...Oh mana ya? Ular sawah tak mengandung bisa, Gusti jangan takut ...

(Merogoh kantongnya)

Ah, ini dia.

GUSTI BIANG
Ulaaaarrrrr.

GUSTI BIANG LARI, WAYAN MENGGELENG-GELENGKAN KEPALA MENDENGAR JANDA BANGSAWAN ITU MEMAKI-MAKI. MALAM BERTAMBAH LARUT





BABAK II

HALAMAN RUMAH MALAM. WAYAN SEDANG MENGENANG MASA-MASA MUDANYA.

Adegan I

WAYAN MENEMBANG PELAN-PELAN. TIBA-TIBA MELIHAT SOSOK TUBUH, LALU MENGHAMPIRI.

WAYAN
Mau ke mana Nyoman?

NYOMAN
Pulang ke desa.

WAYAN
Malam-malam begini?

NYOMAN
Apa salahnya?

WAYAN
Kau akan kemalaman di jalan.

NYOMAN
Aku tidak takut.

WAYAN
Banyak orang jahat sekarang.

NYOMAN
Biar saja, daripada saya sakit tinggal di sini.

WAYAN
Besok sajalah pagi-pagi, bape akan mengantarmu dengan
bus. Oh ya, kau belum dapat ijinkan?

NYOMAN
Biar.

WAYAN
Kapan kau akan balik? Kenapa tergesa-gesa? Bape tidak marah Nyoman. Bape bersumpah lebih baik mati dimakan leak daripada memukul engkau. Kenapa tiba-tiba saja pulang?

NYOMAN
Saya dipukul, saya diusir, buat apa tinggal di sini kalau tidak disukai.

WAYAN
Nyoman. Nyoman sudah biasa tinggal di sini, kau tak akan betah tinggal di sana. Nanti kamu akan rusak di sana.

NYOMAN
Tapi di sana orangnya baik-baik. Saya tidak pernah dipukul, saya lebih senang tinggal di situ, biar cuma makan batu.

WAYAN
Daripada makan batu lebih baik tinggal di sini, makan minum cukup, ada radio, bisa nonton film India.

NYOMAN
Tapi kalau tertekan seperti binatang? Dimarahi, dihina, dipukul seperti anak kecil!

WAYAN
Tapi NYOMAN harus mengerti, kita berhutang budi pada Gusti Biang.

NYOMAN (Pelan-pelan)
Memang, saya banyak berhutang budi, dikasih makan, disekolahkan, dibelikan baju, dimasukkan kursus modes, tapi kalau tiap hari dijadikan bal-balan, disalah-salahkan terus? Sungguh mati kalau tidak dikuat-kuatkan, kalau tidak ingat pesan tu Ngurah, sudah dari dulu-dulu sebetulnya.

WAYAN
Aduh, apa nanti yang mesti bape katakan kalau dia menanyakan .... ”Di mana Nyoman Bape?” Nah, apa yang akan Bape jawab?

NYOMAN
Ide sudah lupa sama icang Bape, di sana banyak bintang-bintang pilem, pasti dia sudah lupa. Nulis surat aja tidak.

WAYAN
Tidak, dia tidak begitu?

NYOMAN
Siapa bilang begitu?

WAYAN
Aku tidak bilang. Ha .. ha .. pasti dia tidak akan begitu. Kalau sampai begitu, aku yang tanggung jawab. Makanya jangan pulang, sini barangnya..

NYOMAN
Akan saya tunggu di desa saja.

WAYAN
Sudahlah, dia cuma orang tua bangka. Umurnya hampir tujuh puluh tahun. Kenapa Nyoman pusing benar kepadanya?




Adegan II

SUARA GUSTI BIANG MENCARI NYOMAN, GUSTI BIANG MUNCUL DAN NYOMAN MENGHAMPIRI WAYAN.

NYOMAN
Saya pergi Bape, tidak bisa tahan lagi, saya sudah bosan.

GUSTI BIANG
Jangan biarkan dia membawa bungkusan itu! Tahan dia Wayan.

WAYAN
Tentu Gusti Biang.

NYOMAN
Baik, titiyang akan pergi.

GUSTI BIANG
Suruh dia pergi goblok, jangan biarkan dia mencuri bungkusan itu. Itu bukan kepunyaannya.

WAYAN
Tapi itu pakaiannya sendiri Gusti.

GUSTI BIANG
Dulu ketika kubawa kemari, dia cuma pakai kain rombeng. Ambil segera Wayan! Sakit gede.

NYOMAN
Baik, ambil saja Bape Wayan.

GUSTI BIANG
Nanti dulu.

NYOMAN
Apa lagi yang Gusti kehendaki?

GUSTI BIANG
Wayan!

WAYAN
Ya, ada apa Gusti?

GUSTI BIANG
Simpan bugkusan itu, jangan goblok kamu, lalu ambil buku besar, catatan keluar masuk, dari dalam lemari, ini kuncinya. Cepat!

WAYAN
Ah, catatan keluar masuk? Baru sekali ini titiyang mendengarnya .....

GUSTI BIANG
Ambil cepat goblok.

WAYAN
Tapi buku besar yang mana Gusti?

GUSTI BIANG
Tolol kamu ini! Buku besar di dalam lemari yang berwarna hijau.

WAYAN
Oh. Gusti Biang Ayo cepat!



Adegan III

WAYAN MASUK MEMBAWA BUNGKUSAN. GUSTI BIANG BERTOLAK PINGGANG, NYOMAN MEMPERHATIKAN DENGAN SANGAT BENCI.

GUSTI BIANG
Perempuan tak tahu balas budi. Tidak tahu berterima kasih, dikasih makan tiap hari malah durhaka. Disekolahkan malah jadi lawan. Maling, ular, mau meracun.

NYOMAN
Katakan sepuas-puasnya Gusti Biang.

GUSTI BIANG
Aku mau diracunnya, terlalu. Akan kuadukan kau kepada polisi. Gila!

NYOMAN
Gusti sendiri yang menyiksa tiyang.

GUSTI BIANG
Dasar penjilat! Kuberhentikan kau sekolah karena kau main mata dengan guru dan tukang kebun sekolah itu.

NYOMAN
Bohong! Itu hasutan anak Gusti Biang sendiri.

GUSTI BIANG
Benar!

NYOMAN
Bohong!

GUSTI BIANG
Benar, kau memang liar, genit, dan licik serta apa saja yang jelek-jelek.

NYOMAN
Baik, baik, tapi kau juga genit.

GUSTI BIANG
Apa katamu?

NYOMAN
Kau juga genit, kau ...

GUSTI BIANG
Apa katamu leak? Wayan akan memutar lehermu!

NYOMAN
Wayan akan memutar lehermu!

GUSTI BIANG
Dia akan menguncimu dalam gudang!

NYOMAN
Dia akan menguncimu dalam gudang!

GUSTI BIANG
Setan! Akan kucarikan kau polisi!

NYOMAN
Polisi itu akan membawakan Gusti ular belang.

GUSTI BIANG
Diam! Diam!

(Nyoman hendak pergi meninggalkan gusti biang, tapi gusti biang Mencegahnya)

Jangan pergi! Jangan duduk! Jangan bergerak!

NYOMAN (Berhenti lalu mendekat dan memandang Gusti Biang dengan marah)
Gusti Biang, tiyang bosan merendahkan diri, dulu tiyang menghormati Gusti karena usia Gusti lanjut. Tiyang mengikuti semua apa yang Gusti katakan, apa yang Gusti perintahkan meskipun tiyang sering tidak setuju. Tetapi Gusti sudah keterlaluan sekarang. Orang disuruh makan tanah terus-menerus, Gusti anggap tiyang tak lebih dari cacing tanah. Semutpun kalau diinjak menggigit, apalagi manusia, Gusti yang seharusnya agung, luhur, menjadi tauladan tapi seperti ...

GUSTI BIANG
Seperti apa?

NYOMAN
Orang kebanyakan saja mempunyai kasih sayang dan menghargai orang lain. Tapi Gusti, di mana letak keagungan Gusti? Cobalah Gusti berjalan di jalan raya seperti sekarang, Gusti akan ditertawakan oleh orang banyak. Sekarang orang tidak lagi diukur dari keturunan tapi kelakuan dan kepandaianlah yang menentukan. Sekarang tidak hanya bangsawan, semua orang berhak dihormati kalau baik. Begitu mestinya.

GUSTI BIANG
Begitu mestinya. Bohong! Bohong tolol!

NYOMAN
Memang tiyang tolol. Buat apa mengatakan ini semua. Gusti sudah terlalu lanjut, akan terlalu sakit untuk mengubah kebiasaan Gusti. Tapi seandainya mencoba, mencoba saja, saya akan mau di sini mengabdi untuk selamanya.

GUSTI BIANG (Meludah)
Ha.. ha .. kau tidak perlu pidato omong kosong, kau perempuan sudra. Kau akan kena tulah
karena berani menentangku, hei cepat Wayan!



Adegan IV

WAYAN MUNCUL DENGAN BUKU DITANGANNYA

GUSTI BIANG
Nah, sekarang sebelum kau pergi, kau harus melunasi hutangmu dulu.

NYOMAN
Hutang apa? Nyoman tidak pernah meminjam uang.

GUSTI BIANG
Buka bagian yang bertuliskan tinta merah, Wayan, cepat Wayan!

WAYAN (Tampak bingung membalik-balik buku)
Nanti dulu, piih. Nah ini dia.

GUSTI BIANG
Baca perlahan dengan jelas. Baca kataku!

WAYAN (Masih bingung, mendekatkan lampu)
Piih, mata tiyang kurang terang, sebentar, piih kenapa belum terang juga, kabur Gusti.

WAYAN
Gusti lupa, Wayan tak pernah belajar membaca.

GUSTI BIANG
Setan bawa kemari buku itu!

(gusti biang mengambil buku itu dan memberi isyarat kepada wayan agar mengambil kaca mata dan lampu teplok. wayan segera melakukannya dan mengangkat lampu teplok tinggi-tinggi)

Nah, di sini dicatat semua perongkosan yang kau habiskan selama kau dipelihara di sini. Nyoman Niti, asal dari desa Maliling, umur lebih kurang delapan belas tahun. Kulit kuning dan rambut panjang. Badan biasa, lebih tinggi sedikit dari Gusti Biang. Mulai dari tahun lima puluh empat, lima pasang baju, sebuah boneka, sebuah bola bekel, satu biji kelerang, satu tusuk konde, dan ...

WAYAN (Memotong)
Benar, piih, semua Gusti catat.

NYOMAN
Gusti Biang ....

GUSTI BIANG
Tahun lima puluh lima, sekarang! Dua baju rok, batu tulis, kebaya, pinsil, satu batang jarum, sepasang teklek, tikar dan seekor anak kucing belang.

WAYAN
Ah, benar Gusti Biang, titiyang masih ingat sekali ketika pertama kali Nyoman mengenakan kain kebaya. Piih, semuanya itu sudah lewat.

GUSTI BIANG
Selama dua tahun ini sudah berjumlah dua juta rupiah ... kemudian sekarang tahun lima puluh enam! Tidak ada, sebab aku lupa mencatatnya. Tahun lima puluh tujuh, aku juga lupa mencatatnya. Tetapi di sini yang kuingat, ia memecahkan sebuah cangkir dan kaca mataku. Lalu tahun lima puluh delapan! Sepasang sandal, sekotak bedak, kaca jendela dipecahkannya, dua buah gelas tiba-tiba menghilang, sekilo daging dimakan si belang karena
lupa mengunci dapur. Tiga buah sisir, tiga butir kelapa hilang. Seekor ayamku yang paling baik disembelihnya, sepuluh anak ayam tiba-tiba mati, yang bulu putih, hitam, coklat, kuning, dan berumbun. Lalu ...

WAYAN
Tapi semua itu tak bisa dipertanggungjawabkan kepada Nyoman, Gusti, itu adalah kesalahan induknya yang tidak berhati-hati menjaga anaknya. Bukan kesalahan Nyoman.

GUSTI BIANG
Diam! Diam kataku! Ini adalah urusanku, nanti kau akan mendapat bagianmu sendiri. Nah, ongkos hidupmu hampir delapan belas tahun di sini, benar-benar sudah kelewat batas. Coba lihat di sini, tahun enam puluh misalnya .. memecahkan kaca jendela, korupsi sabun, menghanguskan nasi, korupsi uang belanja dapur dan pekerjaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Beberapa kali aku memanggil mantri untuk mengobatinya,
membeli obat waktu ia sakit. Banyak, banyak sekali, itu belum ditambah yang lain-lain yang aku lupa catat. Belum lagi ditambah bunganya ...

WAYAN
Piih, ini perhitungan gila!

GUSTI BIANG (Berkata sungguh-sungguh)
Semua telah aku catat bersama tanggal dan hari kejadiannya. Sekarang kau boleh pergi. Kapan-kapan aku dan Wayan akan datang ke tempatmu dengan seorang polisi dan juru
sita sebab kau pasti tidak bisa membayar. Kau cuma punya gubuk yang buruk di desa dan tak pernah makan nasi. Rentenya sepuluh persen sebulan. Nah, bawa buku ini lagi ke dalam Wayan. Simpan baik-baik untuk dipergunakan kelak. Lalu usir dia! Apa yang kau tunggu lagi? Ambil buku ini, dan usir dia!

WAYAN TAK MENERIMA, IA MENDEKAT KE MEJA DAN MELETAKKAN LAMPU TEPLOK KEMUDIAN BERJONGKOK

WAYAN
Titiyang tak kuasa. Badan titiyang lemas. Gusti telah, mencatat hutang-hutang titiyang pula. Berapa semuanya Gusti?

GUSTI BIANG
Sudah tak terhitung lagi, hampir dua puluh juta!

WAYAN
Piih, titiyang punya nyawapun tak ada harganya dua puluh juta, Gusti, titiyang benar-benar ingin menangis sekarang.

GUSTI BIANG
Usir dia sekarang juga, jangan ngarje roras di sini.

(Melihat Wayan masih jongkok)

Apa? Baik aku sendiri yang mengusirnya kalau kau tak mau.

NYOMAN
Tidak usah disuruh Gusti, tiyang memang mau pergi sekarang. Tetapi sebelum titiyang pergi, tiyang hitung berapa hutang Gusti kepada tiyang.

GUSTI BIANG
Oh, aku tak pernah pinjam uang sepanjang hidupku..

NYOMAN
Lebih dari sepuluh tahun tiyang menghamba di sini. Bekerja keras dengan tidak menerima gaji. Kalau tidak ada Bape Wayan sudah lama tiyang pergi dari sini. Selama ini tiyang telah membiarkan diri diinjak-injak, disakiti, dijadikan bulan-bulanan seperti keranjang sampah. Tidak perlu rentenya, pokoknya saja. Hutang Gusti Biang kepada tiyang, sepuluh juta kali sepuluh tahun. Belum lagi sakit hati tiyang karena fitnahan dan hinaan Gusti. Pokoknya melebih harta benda yang masih Gusti miliki sekarang. Tapi ambillah semua itu sebagai tanda bakti tiyang yang terakhir.

GUSTI BIANG
Pergiiii! Pergiiii!

NYOMAN MENGHAPUS AIRMATA DAN BERLARI KE LUAR PINTU! JANDA BANGSAWAN ITU MENGAWASINYA DENGAN MENGANGKAT LAMPU TEPLOK


Adegan V

WAYAN YANG DUDUK MEMBELAKANGI GUSTI BIANG TIDAK TAHU KALAU NYOMAN TELAH PERGI

WAYAN (Bergumam)
Satu milyar kali sepuluh tahun? Aneh-aneh saja pembukuan jaman sekarang!

GUSTI BIANG (Mendekati Wayan)
Jangan cerewet Wayan. Awasi dia supaya jangan kembali kemari, kau dengar?

WAYAN
Sabar Gusti, kenapa Gusti gelap mata? Gusti telah menghantam semua orang dengan hutang. Satu milyar dan ..

(Menoleh ke belakang dan heran)

Piih, di mana Nyoman, Gusti?

GUSTI BIANG
Dia sudah pergi, buta. Dia tidak akan mengganggu
kita lagi ....

WAYAN
Maksud Gusti, dia sudah pergi dan titiyang tidak melihatnya?

GUSTI BIANG
Ya, kita sudah terlepas dari bahaya ....

WAYAN
Terlepas? Justru bahaya itu sekaranglah baru mulai Gusti.
GUSTI BIANG (Tertawa geli)
Tenang Wayan. Jangan pikirkan yang dua puluh juta itu, aku cuma pura-pura.

WAYAN (Beringas)
Titiyang tidak memikirkan titiyang punya diri, titiyang memikirkan putra Gusti Biang.

GUSTI BIANG
Bagus Wayan. Ah, mana kaca mata itu. Segera kita akan baca berita yang dikirimnya.

WAYAN
Dia akan mengumpat titiyang dan akan mengalungkan ular karena keteledoran titiyang. Ke
mana tadi perginya Gusti? Titiyang akan mengejarnya.

GUSTI BIANG
Apa maksudmu Wayan?

WAYAN
Buta! Tuli! Pikun! Piih! Dunia! Dunia ...

GUSTI BIANG (Panik)
Katakan, kenapa dia Wayan? Ya katakan, katakan apa maksudmu.

WAYAN (Menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kesal)
Nyoman niti, gusti biang.

GUSTI BIANG
Ya, Nyoman begundal itu, kenapa dia?

WAYAN
Gusti, Nyoman adalah tunangan Ngurah, calon menantu Gusti Biang sendiri, berani sumpah, Nyoman adalah tunangan Ngurah. Ratu Ngurah sendiri yang mengatakannya. “Aku akan mengawini Nyoman Bape” katanya. “Biar hanya orang desa, pendidikannya rendah tapi hatinya baik, daripada ...” biar dimakan leak. Demi apa saja!

GUSTI BIANG
Tidak, semua itu hasutan. Anakku tidak akan kuperkenankan kawin dengan bekas pelayannya. Dan, kami keturunan ksatria kenceng. Keturunan raja-raja Bali yang tak boleh dicemarkan oleh darah sudra.

WAYAN
Tapi kalau Ratu Ngurah menghendaki, bagaimana?

GUSTI BIANG
Bisa saja dipelihara sebagai selir. Suamiku dulu memelihara lima belas orang selir. Kalau tidak, jangan mendekati anakku.

WAYAN
Tapi mereka saling mencintai!

GUSTI BIANG
Cinta? Apa itu cinta, itu hanya ada dalam kidung-kidung Smarandanamu.

WAYAN
Kalau begitu alamat akan perang.

GUSTI BIANG
Perang, apa maksudmu? Perang sudah selesai, tidak ada perang lagi!

WAYAN
Wayan tidak mau kehilangan tongkat dua kali.

GUSTI BIANG
Ngurah tidak akan sudi menjamah perempuan dekil itu.

WAYAN
Ratu Ngurah benar-benar mencintai Nyoman, Gusti Biang.

GUSTI BIANG
Bohong!

WAYAN
Baik, bacalah surat itu kalau tidak percaya!

GUSTI BIANG
Surat? Ini surat Ngurah, aku terima tadi.

WAYAN
Sudah lima hari yang lalu!

GUSTI BIANG
Tapi! Kau keterlaluan!

WAYAN
Coba baca!

(GUSTI BIANG MEMBACA DEKAT LAMPU TEPLOK DAN WAYAN MENDENGARKAN DENGAN TENANG)

GUSTI BIANG
Swatiastu, ibunda tercinta .... Kalau aku bilang tadi, kamu bilang sudah lima hari, apa saja yang aku katakan kamu lawan! Dewa Ratu, dengarlah Wayan. Betapa pinternya ia menghormati

(Membaca lagi)

dengan singkat ananda kabarkan bahwa ananda segera pulang. Ananda telah merencanakan
berunding dengan ibu. Sudah masanya sekarang ananda menjelaskan. Meskipun ananda belum menyelesaikan pelajaran, bahkan mungkin ananda akan berhenti sekolah saja, sebab tak ada lagi gunanya. Ananda hendak menjelaskan kepada ibu bahwa ananda tidak bisa lagi berpisah lebih lama. Rahasia ini ananda simpan sejak lama. Supaya ibu tidak kaget nanti, akan saya terangkan bahwa ananda bermaksud, ananda bermaksud ... ananda
bermaksud

MENGULANG SAMBIL MENDEKATKAN LAMPU TEPLOK

WAYAN
Bermaksud apa?

GUSTI BIANG
Bermaksud, bermaksud ...

WAYAN
Ya bermaksud apa? Baca terusnya Gusti Biang.

GUSTI BIANG (Tiba-tiba surat itu jatuh dari pegangannya)
Jadi, dia benar-benar mau kawin dengan perempuan itu?

WAYAN
Ya!

GUSTI BIANG
Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku melarang keras, Ngurah harus kawin dengan orang patut-patut. Sudah kujodohkan sejak kecil dia dengan Sagung Rai. Sudah kurundingkan pula dengan keluarganya di sana, kapan hari baik untuk mengawinkannya. Dia tidak boleh mendurhakai orang tua seperti itu. Apapun yang terjadi dia harus terus menghargai
martabat yang diturunkan oleh leluhur-leluhur di puri ini. Tidak sembarang orang dapat dilahirkan sebagai bangsawan. Kita harus benar-benar menjaga martabat ini. Oh, aku akan malu sekali, kalau dia mengotori nama baikku. Lebih baik aku mati menggantung diri daripada menahan malu seperti ini. Apa nanti kata Sagung Rai? Apa nanti kata keluarganya kepadaku? Tidak, tidak!

(Wanita Itu Menjerit Dan Mendekati Wayan Dengan Beringas)

Kau, kau biang keladi semua ini. Kau yang menghasut supaya mereka bertunangan. Kau sakit gede!

WAYAN
Tidak, titiyang tidak ikut campur Gusti Biang.

GUSTI BIANG
Ya, kaulah hantu yang memburu hidupku. Aku masih ingat kejadian jaman dulu. Waktu aku masih muda dan kau memburuku dengan mata buayamu itu, kau memang licik! Dasar manusia sudra! Kau menghasut anakku supaya kawin dengan Nyoman karena kau sendiri gagal!

WAYAN
Siapa bilang tiyang gagal!

GUSTI BIANG
Suamiku yang telah menggagalkan kau.

WAYAN
Suami GUSTI BIANG seorang pembohong!

GUSTI BIANG
Bedebah! Berani kau menghina pahlawan di puri
ini?

WAYAN (Tertawa pehit. Wajahnya menjadi keras)
Pahlawan? Pahlawan apa? Siapa yang mengatakan dia pahlawan?

GUSTI BIANG
Semua mengatakan dia pahlawan! Dia telah berjuang untuk kemerdekaan dan mati ditembak Nica!

WAYAN
Itu bohong! Orang-orang seperti dia yang menggabungkan diri dalam pasukan Gajah Merah memang pantas disebut pahlawan, Pahlawan penjajah! Orang-orang seperti dia telah menikam perjuangan dari belakang.

GUSTI BIANG
Pergi! Pergi bangsat! Angkat barang-barangmu. Tinggalkan rumah suamiku ini. Aku tak sudi memandang mukamu!

MELEMPARI WAJAH WAYAN DENGAN BOTOL

WAYAN
Baik aku akan pergi sekarang. Aku akan menyusul Nyoman. Aku juga bosan di sini meladeni tingkah lakumu. Tapi sebelum aku pergi akan aku jelaskan tentang pahlawan gadungan itu. Gusti harus tahu ....

GUSTI BIANG (Memotong)
Tidak! Aku tidak mau mendengar. Kau telah menghina suamiku. Ini tidak bisa dimaafkan
lagi. Pergi! Pergi! Sebelum aku mengutukmu, pergi! Rumah ini kepunyaanku, tinggalkan gudangku itu, pergi bedebah!

WAYAN
Benar?

GUSTI BIANG
Pergi leak! Jangan kau menggangguku lagi. Pergi!

WAYAN
Baik, tiyang akan pergi Gusti Biang.

WAYAN MENINGGALKAN RUANGAN, GUSTI BIANG MELONTARKAN KUTUKAN

GUSTI BIANG
Tinggalkan gudang itu sekarang juga. Enyah dari rumah suamiku.

(Agak rendah, jongkok)

dia sudah menjadi setan, suamiku dihinanya, anakku dihasutnya. Terkutuk, terkutuk bedebah itu. Apa yang harus aku katakan kepada Sagung Rai kalau Ngurah kawin dengan perempuan sudra itu? Bedebah, terkutuk! Dewa Ratu, malangnya nasib orang tua ini, semua mendustaiku, semua orang menjadi binatang.

MEMANDANG SEKELILING LALU DUDUK DI KURSI. UNTUK BEBERAPA SAAT IA TERTIDUR DI KURSI ITU



BABAK III
TEMPAT TIDUR GUSTI BIANG

Adegan I

GUSTI BIANG
tertidur ketika Ngurah masuk.

NGURAH
Ibu ...

GUSTI BIANG
Siapa?

NGURAH
Tiyang Ngurah, Tiyang datang Ibu ....

GUSTI BIANG
Ngurah?

NGURAH
Yah! Ngurah, bangun ibu.

GUSTI BIANG (Mengusap matanya tak percaya lalu terbelalak sambil tersenyum)
Ngurah .. Ngurah, kenapa kau baru pulang, kau sudah lupa pada ibumu. Kurang
ajar, aku telah dihina, direndahkan, leak. Kalau kau ada di rumah, mereka tidak akan berani. Semua orang sudah pergi, tak ada yang merawatku. Kamu jadi kurus hitam, seperti kuli.

NGURAH
Ya, saya bekerja di situ.

GUSTI BIANG
Bekerja? Katanya belajar kenapa bekerja?

NGURAH
Ya, bekerja sambil belajar.

GUSTI BIANG
Karena itu kamu gagal.

NGURAH
Ibu, banyak sekali yang saya pikirkan.

GUSTI BIANG
Tapi kau tak pernah memikirkan ibumu.

NGURAH
Justru karena tiyang memikirkan ibu jadi begini.

GUSTI BIANG
Kau memikirkan ibumu kalau kau perlu uang. Itu
barang-barangmu?

NGURAH
Ya.

GUSTI BIANG
Itu koper yang ibu belikan dulu?

NGURAH
Ya, betul ibu.

GUSTI BIANG
Koper itu bisa kau jaga, tapi tujuanmu ke sana tidak. Mana barang-barangmu yang lain?

NGURAH
Masih ada di pondokan.

GUSTI BIANG
Mengapa kau tinggalkan di situ, apa kau akan kembali ke situ?

NGURAH
Saya tidak tahu. Semua tergantung ...

GUSTI BIANG
Tergantung apa?

NGURAH
Entahlah, keadaan tentunya saja.

GUSTI BIANG
Ibu kira kau sudah jadi orang, ternyata? Mana cincinmu?

NGURAH
Cincin?

GUSTI BIANG
Waktu berangkat dulu kau ibu kasih tiga buah cincin peninggalan ayahmu, mana sekarang?

NGURAH
Masih ada....

GUSTI BIANG
Ada di tukang gadai? Aku sudah tahu kelakuan anak-anak yang mengaku-ngaku sekolah tapi nyatanya hanya nonton bioskop. Aku sudah dapat firasat buruk, kalau barang peninggalan leluhurmu sudah kau perlakukan seperti itu. Jangan-jangan kau akan ikut merendahkan dan menghina ibumu ini. Buat apa kau pergi jauh-jauh kalau untuk bertambah
bodoh, untung kau tidak membawa perempuan dari sana, seperti Ngurah Purname di puri Anom. Aku bisa mati berdiri. Kalau cuma perawan, perawan macam apapun di sini ada, tinggal pilih saja. Tapi tidak ada yang lebih cantik, lebih halus, lebih rajin dari Sagung Rai di seluruh puri-puri di Tabanan ini. Sekarang dia sudah besar dan cantik sekali. Besok kamu harus ke sana membawa oleh-oleh.

NGURAH
Ibu, ibu bicara apa itu?

GUSTI BIANG
Kau sudah besar dan pantas kau memberikan aku cucu, sebelum kelewatan. Hanya itu yang aku tunggu sekarang.

NGURAH
Nanti saja kita bicarakan itu.

GUSTI BIANG
Tidak. Sekarang! Apa oleh-olehmu untuk Sagung Rai? Ha..ha kamu juga tidak membawa apa-apa buat ibu bukan?

NGURAH
Maaf ibu.

GUSTI BIANG
Tapi kamu pasti tidak lupa membelikan begundal itu klompen, baju brokkat, kaca mata, de colognet, gincu, tas, ha! Aku minta balsem cap macan saja tidak digubris. Perempuan kurang ajar!

NGURAH
Perempuan? Perempuan siapa ibu?

GUSTI BIANG
Putar-putar! Aku sudah menerima suratmu.

NGURAH
Ya, nanti saja kita bicarakan.

GUSTI BIANG
Kau sendiri yang menulis kan?

NGURAH
Ya.

GUSTI BIANG
Kau ingat apa yang kau tulis? Benar semua itu?

NGURAH
Ya, nanti, nanti kita bicarakan.

GUSTI BIANG
Nanti atau sekarang sama saja, benar Ngurah kau yang menuliskan surat itu?

NGURAH
Sebentar ibu, tiyang akan jelaskan.

GUSTI BIANG
Ngurah kau anak durhaka!

NGURAH
Ibu, tenanglah ibu.

GUSTI BIANG
Tidak! Kalau masih berniat kawin dengan dia, jangan coba-coba memasuki rumah ini, dan kalau kawin juga dengan dia, jangan lagi menyebut ibu kepadaku.

NGURAH
Tenang, mari kita bicarakan nanti baik-baik, tiyang sudah lelah. Semuanya nanti kita bicarakan.

GUSTI BIANG
Ibu pun sangat lelah. Tak ada waktu lagi berpanjang-panjang. Sebelum ini berakar menjadi sakit hati, kita harus meyelesaikannya, sekarang juga harus selesai!

NGURAH
Begitukah keputusan ibu?

GUSTI BIANG
Ya.

NGURAH
Tiyang ingin istirahat dulu.

GUSTI BIANG
Kau boleh berbuat sesukamu kalau semuanya sudah beres. Ini adalah rumahku dan kau adalah ahli waris satu-satunya.

NGURAH
Baiklah, kalau itu yang ibu kehendaki.

HENDAK DUDUK

GUSTI BIANG
Kau tak perlu duduk! Ibu sendiri tak akan duduk sebelum semuanya selesai dengan baik. Kita akan selesaikan sekarang. Jadi kau bermaksud kawin dengan penjeroan itu?

NGURAH
Begini ibu ...

GUSTI BIANG
Jawab saja dengan singkat. Benar kau mau mengawininya? Jawab Ngurah. Jawab!

NGURAH
Ya, titiyang akan mengawininya.

GUSTI BIANG
Ngurah! Kau sudah diguna-gunanya.

NGURAH
Kami saling mencintai ibu.

GUSTI BIANG
Cinta? Ibu dan ayahmu kawin tanpa cinta. Apa itu cinta? Yang ada hanyalah kewajiban menghormati leluhur yang telah menurunkanmu, menurunkan kita semua di sini. Kau tak boleh kawin dengan dia, betapapun kau menghendakinya. Aku telah menyediakan orang yang patut untukmu. Jangan membuatku malu. Ibu telah menjodohkan kau sejak kecil dengan Sagung Rai.

NGURAH
Sagung Rai? Tidak ibu.

GUSTI BIANG
Apa kurangnya Sagung Rai, dibanding dengan perempuan desa itu.

NGURAH
Tidak, tiyang tidak mau kawin dengan dia.

GUSTI BIANG
Kenapa tidak? Ibu dan keluarganya telah selesai merundingkan semua. Dia sudah tamat SMP. Kelakuannya halus dan rajin.

NGURAH
Ibu, soalnya bukan itu, ibu harus mengerti, sekarang orang ingin memilih sendiri teman hidup.

GUSTI BIANG
Kalau ingin kau pelihara perempuan sudra itu karena nafsumu, terserahlah. Boleh kau pelihara sebagai selir. Kau boleh berbuat sesukamu, sebab aku telah memeliharanya sejak kecil. Tetapi untuk mengawininya dengan upacara itu tidak bisa.

NGURAH
Tidak?

GUSTI BIANG
Tidak! Aku menentangnya.

NGURAH
Kenapa tidak?

GUSTI BIANG
Dia tidak pantas menjadi istrimu! Dia tidak pantas menjadi menantuku!

NGURAH
Kenapa tidak ibu? Kenapa? Siapa yang menjadikan Sagung Rai lebih pantas dari Nyoman untuk menjadi istri? Karena derajatnya? Tiyang tidak pernah merasa derajat tiyang lebih tinggi dari orang lain. Kalau toh tiyang dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan tiyang harus berhati-hati. Harus pintar berkelakuan baik agar bisa jadi teladan orang, yang
lain omong kosong semua!

(Gusti Biang Terbelalak Dan Mendekat)

Tiyang sebenarnya pulang meminta restu dari ibu. Tapi karena ibu menolaknya karena sola kasta, alasan yang tidak sesuai lagi. Tiyang akan menerima akibatnya

(Gusti Biang Menangis, Ngurah Bergulat Dengan Batinnya)

Tiyang akan kawin dengan Nyoman. Sekarang ini soal kebangsawanan jangan di besar-besarkan lagi. Ibu harus menyesuaikan diri, kalau tidak ibu akan ditertawakan orang. Ibu ...

GUSTI BIANG
Tinggalkan aku anak durhaka! Pergilah memeluk kaki perempuan itu! Kau bukan anakku lagi!
Leluhurmu akan mengutukmu,kau akan ketulahan.

NGURAH (Memegang kepala)
Ini tidak bisa diselesaikan begini saja. Panggillah Nyoman dan Bape Wayan,
kita bicarakan tenang-tenang.

GUSTI BIANG
Tidak! Sudah kuusir leak-leak itu! Aku sudah dihina, diinjak-injak!

NGURAH
Diusir? Nyoman, ibu usir?

KELUAR

GUSTI BIANG
Ya! Leak itu tidak boleh masuk rumahku ini. Setan tua itu juga! Biar mati dua-duanya sekarang! Kalau kau mau ikut pergi terserah. Aku akan mempertahankan kehormatanku. Kehormatan suamiku, kehormatan Sagung Rai, kehormatan leluhur-leluhur di puri ini.


BABAK IV
DEPAN RUMAH MALAM

Adegan I

WAYAN MUNCUL MEMBAWA KOPOR SENG DAN SENJATA. LALU MELIHAT KE DALAM RUMAH NGURAH MUNCUL DARI SAMPING WAYAN

WAYAN
Tu Ngurah ..

NGURAH
Bape Wayan!

WAYAN
Tepat sekali ratu Ngurah datang.

NGURAH
Apa kabar Bape?

WAYAN
Buruk tu Ngurah, buruk sekali.

NGURAH
Bape sehat-sehat saja?

WAYAN
Marahlah, umpatlah si tua yang pikun ini.

NGURAH
Kenapa?

WAYAN
Nyoman telah pergi.

NGURAH
Ke mana?

WAYAN
Baru saja tiyang hendak menyusulnya sekarang.

NGURAH
Baru saja?

WAYAN
Ya, baru saja, pasti belum jauh.

NGURAH
Kenapa dia pergi Bape?

WAYAN
Tu Ngurah tahu sendiri, sudah lama Gusti Biang tidak cocok dengan Nyoman. Titiyang tidak bisa mendamaikannya. Nyoman sudah sering ingin minggat, tapi tadi, tiba-tiba saja dia pergi. Salah titiyang juga tu Ngurah.

NGURAH
Sudahlah biar dulu begitu. Semuanya akan selesai nanti. Saya juga telah bertengkar dengan ibu. Duduklah Bape, bape jangan ikut pergi. Duduklah bape. Pasti ibu yang salah. Bape sudah bertahun-tahun di sini, tak baik kalau tiba-tiba pergi, duduklah bape ...

Adegan II
GUSTI BIANG MUNCUL

GUSTI BIANG
Tinggalkan rumahku sekarang ini juga.

WAYAN
Tiyang sudah berusaha baik-baik tapi tidak berhasil. Bape pergi sekarang

KEPADA NGURAH

GUSTI BIANG
Pergi Leak, jangan mengotori rumah suamiku.

WAYAN HENDAK PERGI, NGURAH MENAHANNYA

NGURAH
Bape! Jangan pergi! Ingat saya Bape. Jadi Bape akan tinggalkan?

GUSTI BIANG
Dia hantu! Tinggalkan rumah ini cepat!

WAYAN
Ya, tiyang hantu, seperempat abad tiyang mengabdi di rumah ini karena cinta. Sekarang keadaan tambah buruk. Bape pergi tu Ngurah

MENGANGKAT KOPER HENDAK PERGI

GUSTI BIANG
Tunggu dulu! Apa yang kau bawa itu? Kau mencuri barang-barangku. Bedil? Bedil siapa itu?

WAYAN
Pak Rajawali punya bedil waktu revolusi. Bedil ini sudah banyak membunuh pengkhianat.

GUSTI BIANG
Bedil itu kepunyaanku!

WAYAN
Kepunyaan Gusti Biang?

(Kepada Ngurah)

Ini bedil Bape ...

GUSTI BIANG
Ngurah! Ambil bedil itu! Ia mencuri bedil yang kusimpan di kamar ayahmu.

WAYAN
Ini bedil pak Rajawali.

GUSTI BIANG
Setan, anakku kamu hasut. Bedil peninggalan suamiku kau curi! Ambil bedil itu Ngurah! Bedil itu wasiat ayahmu.

NGURAH (Tertarik kepada bentuk bedil itu)
Coba lihat, aneh sekali bentuknya.

WAYAN
Bedil ini kepunyaan tiyang.

NGURAH
Benar? Coba saya ingin lihat.

GUSTI BIANG
Rebut saja! Jangan percaya dia lagi!

NGURAH
Ibu, di mana peluru yang menewaskan ayah?

MENGAMBIL BEDIL DARI TANGAN WAYAN

GUSTI BIANG
Tentu aku selalu membawanya sebagai jimat.

NGURAH
Coba lihat

(Menerima peluru)

Peluru ini yang telah membunuh ayah. Dokter Belanda itu membedah mayat ayah dan menyerahkan peluru ini kepada ibu. Ibu menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Kemudian atas permintaan ibu, dokter itu juga memberikan senjata yang dipergunakan untuk menembakkan peluru ini.

GUSTI BIANG
Benar. Senjata laknat ini yang telah membunuh suamiku. Nica jahanam.

WAYAN
Nica tidak mempunyai bedil macam ini.

GUSTI BIANG
Tidak! Usir dia Ngurah! Usir cepat!

WAYAN
Bedil macam ini hanya dipunyai gerilya.

GUSTI BIANG
Bedebah! Tidak! Jangan biarkan dia bicara, usir!

WAYAN (Tertawa)
Semua pahlawan mati tertembak Nica, tetapi dia tidak. I Gusti Ngurah Ketut Mantri bukan
seorang pahlawan, dia ditembak mati gerilya sebagai penghianat.

GUSTI BIANG
Dengar, dia menghina ayahmu! Usir dia! Tembak dia sampai mati!

NGURAH (Memegang ibunya yang hendak memukul)
Tenang ibu!

GUSTI BIANG Coba katakan lagi suamiku penghianat! Coba!
Kupukul kau bedebah.

WAYAN
Dia memang penghianat.

GUSTI BIANG
Leak! Terkutuk kau!

NGURAH
Sabar ibu!

MENDUDUKKAN IBUNYA

GUSTI BIANG
Kenapa kau diam saja anak durhaka! Tembak jahanam itu! Dia menghina suamiku.

NGURAH
Baik ibu, tapi tenang, nanti tetangga-tetangga bangun.

GUSTI BIANG
Biar, biar. Usir dia sekarang

BATUK KERAS

NGURAH
Bape bilang ayah saya penghianat? Kenapa Bape

WAYAN membeo kata orang yang iri hati? Bape sudah bertahun-tahun di sini mengapa mau merusak nama baik keluarga kami?

SALING BERPANDANG-PANDANGAN

WAYAN (Dengan tegas)
Tiyang tahu semuanya, tu Ngurah. Sebab tiyang yang telah mendampinginya setiap
saat dulu. Sejak kecil tiyang sepermainan dengan dia, seperti tu Ngurah dengan Nyoman. Tiyang tidak buta huruf seperti disangkanya. Tiyang bisa membaca dokumen-dokumen dan surat-surat rahasia yang ada di meja kerjanya. Siapa yang membocorkan gerakan Ciung Wanara di Marga dulu? Nica-nica itu mengepung Ciung Wanara yang dipimpin oleh pak Rai, menghujani dengan peluru dari berbagai penjuru, bahkan dibom dari udara sehingga kawan-kawan semua gugur. Siapa yang bertanggung jawab atas kematian sembilan puluh
enam kawan-kawan yang berjuang habis-habisan itu? Dalam perang puputan itu kita kehilangan Kapten Sugianyar, kawan-kawan tiyang yang paling baik, bahkan kehilangan pak Rai sendiri. Dialah yang telah berkhianat, dialah yang telah melaporkan gerakan itu semua kepada Nica.

GUSTI BIANG
Tidak! Itu tidak benar! Suamiku seorang pahlawan Ngurah usir dia.

NGURAH (Menghampiri Wayan)
Saya tidak percaya!

GUSTI BIANG
Jangan percaya! Leak!

NGURAH
Bape menghina keluarga saya.

WAYAN
Bukan menghina tu Ngurah. Begitulah keadaannya. Desa Marga menjadi saksi semua itu, hanya beliau dilahirkan sebagai putra Bangsawan yang berpengaruh serta dihormati karena jasa-jasa leluhur, dosa beliau kepada pak Rai terhadap semua korban puputan itu seperti dilupakan. Tetapi tiyang sendiri tidak pernah melupakannya. Bukan hanya seorang, banyak penghianat-penghianat di bumi ini dianggap orang sebagai pahlawan sedangkan yang benar-benar berjasa dilupakan orang.

NGURAH
Saya tak senang dengan cara-cara bape ini, diam-diam menjadi musuh dalam selimut. Susah payah saya memperbaiki nama baik keluarga. Sekarang bape hendak menodainya. Mencari-cari kesalahan memang gampang bape. Bape lupa, besar jasa ayah saya kepada perjuangan. Sayang beliau sudah meninggal. Kalau tidak, Ia akan menjelaskannya. Tarik kata-kata bape.

WAYAN HANYA TERSENYUM SINIS

NGURAH
Pergi!

WAYAN (Memalingkan muka hendak pergi tapi tiba-tiba tertegun dan berbalik)
Berikan bedil itu Tu Ngurah.

GUSTI BIANG
Tidak, itu bedilku, kau telah mencurinya.

NGURAH
Coba buktikan, buktikan kalau ayah saya seorang penghianat. Berikan bukti yang nyata, jangan hanya prasangka!

WAYAN (Menggeleng)
Berikan bedil itu Tu Ngurah!

GUSTI BIANG
Ayahmu ditembak Nica!

NGURAH (Membentak)
Buktikan!

WAYAN
Buat apa?

NGURAH
Buktikan!

WAYAN
Tiyang selalu mendampinginya. Tiyanglah yang selalu dekat dengan dia, dan tiyang seorang gerilya.

NGURAH
Lalu?

MEREKA SALING BERPANDANG-PANDANGAN. WAYAN MENGAMBIL BEDIL ITU DARI TANGAN NGURAH DAN NGURAH SEPERTI TAK BERTENAGA MEMBERIKAN BEDIL ITU

WAYAN (Pelan)
Aku telah sengaja melupakannya. Belanda itu memungutnya, tetapi tak tahu siapa yang
menembaknya.

(Membelai bedil)

Tiyanglah yang menembaknya.

NGURAH
Bape?

GUSTI BIANG
Tidak! Tidak! Tidak!

BERDIRI HENDAK MELEMPAR DENGAN TONGKAT. WAYAN SEGERA MERAMPAS DAN MENDUDUKKANNYA KEMBALI. SEMENTARA NGURAH HANYA TERCENGANG

WAYAN
Diam! Diam! Sudah waktunya menerangkan semua ini sekarang. Dia sudah cukup tua untuk tahu.

(Kepada Ngurah)

Ngurah, Ngurah mungkin mengira ayah Ngurah yang sejati, sebab dia suami sah ibu Ngurah. Tapi dia bukanlah seorang pejuang. Dia seorang penjilat, musuh gerilya. Dia bukan lelaki jantan, dia seorang wandu. Dia memiliki lima belas orang istri, tapi itu hanya untuk menutupi kewanduannya. Kalau dia harus melakukan tugas sebagai seorang suami, tiyanglah yang sebagian besar melakukannya. Tapi semua itu menjadi rahasia ... sampai ... Kau lahir, Ngurah, dan menganggap dia sebagai ayahmu yang sebenarnya. Coba tanyakan kepada ibu Ngurah, siapa sebenarnya ayah Ngurah yang sejati.

NGURAH TAK PERCAYA DAN MENGHAMPIRI IBUNYA YANG MULAI MENANGIS

WAYAN
Dia pura-pura saja tidak tahu siapa laki-laki yang selalu tidur dengan dia. Sebab sesungguhnya kami saling mencintai sejak kecil, sampai tua bangka ini. Hanya kesombongannya terhadap martabat kebangsawanannya menyebabkan dia menolakku,
lalu dia kawin dengan bangsawan, penghianat itu, semata-mata hanya soal kasta. Meninggalkan tiyang yang tetap mengharapkannya. Tiyang bisa ditinggalkannya, sedangkan cinta itu semakin mendalam.

NGURAH (Berdiri dan bertanya dengan tolol)
Betulkah itu?

WAYAN
Tanyakan sendiri kepada dia.

NGURAH
Betulkah semua itu Ibu?

GUSTI BIANG TERUS MENANGIS SEMENTARA NGURAH TERUS BERTANYA SAMBIL BERTERIAK

WAYAN
Tiyang menghamba di sini karena cinta tiyang kepadanya. Seperti cinta Ngurah kepada Nyoman. Tiyang tidak pernah kawin seumur hidup dan orang-orang selalu menganggap tiyang gila, pikun, tuli, hidup. Cuma tiyang sendiri yang tahu, semua itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan, kehilangan masa muda yang tak bisa dibeli lagi.

(Memandang Ngurah dengan lembut. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu dan kemudian
berkata)

Tidak. Ngurah tidak boleh kehilangan masa muda seperti bape hanya karena perbedaan
kasta. Kejarlah perempuan itu, jangan-jangan dia mendapatkan halangan di jalan. Dia pasti tidak akan berani pulang malam-malam begini. Mungkin dia bermalam di dauh pala di rumah temannya. Bape akan mengurus ibumu. Pergilah cepat, kejar dia sebelum terlambat.

KEDUA LAKI-LAKI ITU SALING MEMANDANG, GUSTI BIANG TERPAKU DAN MERASA MALU SEKALI. WAYAN KASIHAN DAN MENDEKATI GUSTI BIANG. BEBERAPA SAAT KEMUDIAN WAYAN MEMANDANG NGURAH LAGI

WAYAN
Ngurah, sudah tahu semuanya. Ngurah sudah pantas mendengar itu. Tapi Jangan terlalu memikirkannya. Lupakan saja itu semua. Itu memang sudah terjadi tetapi sekarang setelah Ngurah tahu, hati kami merasa lega. Sekarang lupakan semua itu. Lupakan, jangan bersakit-sakit memikirkannya.

NGURAH MEMALINGKAN MUKA KETIKA WAYAN MENATAPNYA

WAYAN
Semua itu bohong, Titiyang bukan ayah Ngurah. Tiyang adalah Wayan yang pikun dan akan segera mati, dan beliau itu (Menunjuk potret) bukan penghianat. Dia seorang pahlawan dan pantas Ngurah sebut ayah. Ya ... banyak terdapat keburukan di atas dunia ini. Tapi tidak semua keburukan yang kita ketahui itu perlu diketahui orang lain, kalau bisa membuat keadaan lebih buruk lagi. Pergilah Tu Ngurah dan tiyang yang akan meladeni Gusti Biang.

TANPA MENOLEH NGURAH MENINGGALKAN TEMPAT

Adegan III

GUSTI BIANG
sudah berhenti menangis, Ia malu menatap Wayan, tapi laki-laki itu mendekatinya.

WAYAN
Bagaimana Gusti Biang?

GUSTI BIANG (Kemalu-maluan)
Kenapa kau ceritakan semua itu padanya.

WAYAN
Waktu telah tiba, dia sudah cukup dewasa untuk mengetahuinya.

GUSTI BIANG
Kau menyebabkan aku sangat malu.

(Gusti Biang Tertunduk Dan Wayan Menghapus Air Matanya)

Wayan Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah cukup menderita karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi, bagaimana Gusti Biang?

GUSTI BIANG (Sambil menghapus air matanya)
Aku tidak akan mencegahnya lagi. Kita akan mengawinkannya,

(Dengan manja)

Tapi jangan ceritakan lagi tentang yang dulu-dulu. Aku sangat malu.

WAYAN (Tersenyum)
Kalau begitu Wayan tidak jadi pergi. Wayan akan menjagamu Sagung Mirah, sampai kita
berdua sama-sama mati dan di atas kuburan kita, anak-anak itu berumah tangga dengan baik. Sagung Mirah ..

GUSTI BIANG
Apa Wayan?

WAYAN
Kau tetap cantik seperti Dewi Sri ...

GUSTI BIANG
Huuuuuuuuuussssssss!

WAYAN TERTAWA LALU BERJALAN KE GUDANG. GUSTI BIANG MENGANGKAT LAMPU TEPLOK UNTUK WAYAN.

TAMAT

Blogger templates

Blogroll

blog ini dibuat oleh Ramanda Galang Bryantama dan didedikasikan bagi para pembaca sekalian untuk memenuhi segala informasi seputar Bahasa dan Sastri Indonesia

Pages

Blogger templates

Pages

Menurut anda, apakah blog ini sudah memenuhi standar kelayakan blog pada umumnya?

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Copyright © PUSAT PENGETAHUAN SASTRA INDONESIA -Black Rock Shooter- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan